Bukannya latah atau ikut-ikutan, binatang satu ini memang cukup menarik menjadi bahan perbincangan. Apalagi reputasinya saat-saat ini rada ngangkat karena di-personifikasi-kan dengan kedudukan orang nomor satu di negeri ini. Opo tumon ? Apa yang membuat kerbau = kebo ( bahasa Jawa) menjadi ngetop akhir-akhir ini ?
Terus terang saja, akhir-akhir ini saya jarang menemui binatang bernama kerbau itu, walaupun saat ini saya tinggal di desa, tapi saya lebih sering menjumpai sapi atau kambing. Hanya istilahnya saja yang sering saya dengar, kumpul kebo.
Entah bagaimana awalnya, istilah kumpul kebo mempunyai konotasi negatif. Sepasang manusia berjenis kelamin pria dan wanita yang belum ada ikatan pernikahan sudah berani tinggal satu atap dan sudah tentu melakukan hubungan suami istri dikatakan sedang kumpul kebo. Kenapa bukan kumpul ular atau kumpul monyet, kebo dianggap sebagai binatang yang layak untuk mewakili keadaan itu. Kenapa ? Sampai saat ini saya belum tahu jawaban yang pas untuk pertanyaan itu. Ada yang tahu ?
Di kota-kota besar umumnya, hal ini sering terjadi. Tapi tidak menutup kemungkinan terjadi pula di kota kecil atau di desa. Hanya saja, masyarakat desa tak segan bertindak jika ada penyimpangan di daerahnya. Mereka akan beramai-ramai menghakimi bahkan tak segan mempermalukan pelaku dengan mengarak tanpa busana keliling desa misalnya.
Pelaku kumpul kebo di sebagian kota besar, ada yang terang-terangan mengakui namun ada pula yang sengaja main kucing-kucingan. Masih ingat artis Andi Soraya dan Steve Emanuel yang sekarang sudah berganti nama menjadi siapa itu, saya lupa..(terus terang saja, ada yang tahu ? Boleh tunjuk jari..hehe..) yang terang-terangan mengakui hubungan kumpul kebo mereka bahkan sampai melahirkan seorang anak di luar ikatan pernikahan yang sah pula. Walaupun pada akhirnya hubungan itu kandas di tengah jalan. Sebenarnya, apa yang mereka cari ? Hanya mereka yang tahu jawabannya.
Kembali ke kebo itu sendiri, binatang ini paling senang berkubang dalam air. Berendam cukup lama, membersihkan badannya atau sekedar menyegarkan badannya plus bermalas-malasan. Jalannya gontai, santai tanpa beban. Seolah hidup mengalir apa adanya, tanpa target yang jelas. Dan yang lebih parah, binatang ini diidentikkan dengan lambang kebodohan. Duh, malang betul nasibmu, Bo..!
Di luar negeri yang menganut kebebasan, kumpul kebo dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. Bahkan jika ada yang sekedar mengingatkan atau turut campur, hal itu dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Lain daerah, lain budaya. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Sebagai masyarakat timur, kita masih berpegang teguh pada norma-norma dan agama. Semua itu mempunyai konsekuensi bagi masing-masing individu. Kita mau memilih yang mana, monggo mawon asal kita berani mempertanggung jawabkan perbuatan kita kepada Tuhan, agama dan masyarakat luas tentunya. Semuanya kan kembali ke pribadi masing-masing. Orang lain akan menilai kita dari apa yang kita perbuat.
Dan yang perlu diingat, kita hidup sebagai makhluk individu dan sosial. Alangkah baiknya jika kedua status itu bisa seimbang dalam pelaksanaannya. Jika keinginan individu kita dapat merugikan kehidupan sosial, mungkin akan lebih baik jika kita bisa menekan ego kita untuk kebaikan bersama. Contohnya begini. Misalnya saya, pengin kumpul kebo, sebagai individu yang ingin kenikmatan tentunya senang sekali bila itu bisa saya laksanakan. Tapi tunggu, saya punya agama, Tuhan pasti marah kalau saya melakukan ini karena dosa dan pasti masuk neraka ganjarannya. Selain itu, di sekitar saya banyak anak kecil, tentunya saya akan memberikan pelajaran yang buruk untuk perkembangan moral mereka jika saya tetap nekad melakukannya. Jadi ya, mendingan nikah saja deh untuk amannya.
Dan yang lebih aman lagi, jika kita betul-betul kumpul sama kebo saja. Memberdayakannya untuk membajak sawah, ikut berkubang, ikut santai, asal jangan sampai membuatnya marah, bisa-bisa malah diseruduk nanti. Salam sukses, semoga bermanfaat.
Terus terang saja, akhir-akhir ini saya jarang menemui binatang bernama kerbau itu, walaupun saat ini saya tinggal di desa, tapi saya lebih sering menjumpai sapi atau kambing. Hanya istilahnya saja yang sering saya dengar, kumpul kebo.
Entah bagaimana awalnya, istilah kumpul kebo mempunyai konotasi negatif. Sepasang manusia berjenis kelamin pria dan wanita yang belum ada ikatan pernikahan sudah berani tinggal satu atap dan sudah tentu melakukan hubungan suami istri dikatakan sedang kumpul kebo. Kenapa bukan kumpul ular atau kumpul monyet, kebo dianggap sebagai binatang yang layak untuk mewakili keadaan itu. Kenapa ? Sampai saat ini saya belum tahu jawaban yang pas untuk pertanyaan itu. Ada yang tahu ?
Di kota-kota besar umumnya, hal ini sering terjadi. Tapi tidak menutup kemungkinan terjadi pula di kota kecil atau di desa. Hanya saja, masyarakat desa tak segan bertindak jika ada penyimpangan di daerahnya. Mereka akan beramai-ramai menghakimi bahkan tak segan mempermalukan pelaku dengan mengarak tanpa busana keliling desa misalnya.
Pelaku kumpul kebo di sebagian kota besar, ada yang terang-terangan mengakui namun ada pula yang sengaja main kucing-kucingan. Masih ingat artis Andi Soraya dan Steve Emanuel yang sekarang sudah berganti nama menjadi siapa itu, saya lupa..(terus terang saja, ada yang tahu ? Boleh tunjuk jari..hehe..) yang terang-terangan mengakui hubungan kumpul kebo mereka bahkan sampai melahirkan seorang anak di luar ikatan pernikahan yang sah pula. Walaupun pada akhirnya hubungan itu kandas di tengah jalan. Sebenarnya, apa yang mereka cari ? Hanya mereka yang tahu jawabannya.
Kembali ke kebo itu sendiri, binatang ini paling senang berkubang dalam air. Berendam cukup lama, membersihkan badannya atau sekedar menyegarkan badannya plus bermalas-malasan. Jalannya gontai, santai tanpa beban. Seolah hidup mengalir apa adanya, tanpa target yang jelas. Dan yang lebih parah, binatang ini diidentikkan dengan lambang kebodohan. Duh, malang betul nasibmu, Bo..!
Di luar negeri yang menganut kebebasan, kumpul kebo dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. Bahkan jika ada yang sekedar mengingatkan atau turut campur, hal itu dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Lain daerah, lain budaya. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Sebagai masyarakat timur, kita masih berpegang teguh pada norma-norma dan agama. Semua itu mempunyai konsekuensi bagi masing-masing individu. Kita mau memilih yang mana, monggo mawon asal kita berani mempertanggung jawabkan perbuatan kita kepada Tuhan, agama dan masyarakat luas tentunya. Semuanya kan kembali ke pribadi masing-masing. Orang lain akan menilai kita dari apa yang kita perbuat.
Dan yang perlu diingat, kita hidup sebagai makhluk individu dan sosial. Alangkah baiknya jika kedua status itu bisa seimbang dalam pelaksanaannya. Jika keinginan individu kita dapat merugikan kehidupan sosial, mungkin akan lebih baik jika kita bisa menekan ego kita untuk kebaikan bersama. Contohnya begini. Misalnya saya, pengin kumpul kebo, sebagai individu yang ingin kenikmatan tentunya senang sekali bila itu bisa saya laksanakan. Tapi tunggu, saya punya agama, Tuhan pasti marah kalau saya melakukan ini karena dosa dan pasti masuk neraka ganjarannya. Selain itu, di sekitar saya banyak anak kecil, tentunya saya akan memberikan pelajaran yang buruk untuk perkembangan moral mereka jika saya tetap nekad melakukannya. Jadi ya, mendingan nikah saja deh untuk amannya.
Dan yang lebih aman lagi, jika kita betul-betul kumpul sama kebo saja. Memberdayakannya untuk membajak sawah, ikut berkubang, ikut santai, asal jangan sampai membuatnya marah, bisa-bisa malah diseruduk nanti. Salam sukses, semoga bermanfaat.
Great shhare
ReplyDelete