Matanya menatapku kosong, tidak lagi berbinar seperti dulu. Keadaannya cukup memprihatinkan dengan wajah dan tubuh yang tidak terawat. Ya, Tuhan..inikah Asih yang kukenal dulu ? Hampir tak kukenali lagi sosoknya. Bicaranya sudah tidak beraturan lagi, sebentar menangis, sebentar tertawa dan sebentar kemudian melamun dan bersikap seperti ketakutan melihat laki-laki.
“Asih..Asih..,” berkali-kali aku memanggilnya. Dia sudah tidak mengenaliku lagi. Sebagian memorinya tentangku menghilang. Aku tergugu menangis pilu. Betapa malangnya nasibmu, Sih..Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi ?
Asih adalah sahabat masa kecilku. Kami selalu belajar bersama, duduk sebangku di sekolah dan teman bermain bersama. Kala itu kami bersaing secara sehat di sekolah. Peringkat tiga besar di kelas selalu kami raih bersama. Kadang aku yang ranking satu, Asih menduduki ranking dua. Atau sebaliknya, kadang Asih yang ranking satu, aku yang ranking dua. Selalu begitu. Kami saling melengkapi. Tak ada persaingan diantara kami.
Kami saling membantu dan saling memberi kado dengan harga yang telah ditetapkan pada saat aku atau Asih yang berulang tahun. Aku ingat, harga yang ditetapkan untuk kado kami saat itu adalah seharga seribu lima ratus rupiah yang sebanding dengan sepuluh ribu rupiah di saat sekarang. Aku memberinya boneka kecil seharga itu pada saat Asih berulang tahun ke-12. Dia sangat bahagia menerimanya. Dan saat aku berulang tahun, dia memberiku pita rambut dengan harga yang sama aku berikan padanya. Betapa bahagianya aku saat itu.
Aku mengenal baik keluarga Asih, demikian juga Asih mengenal baik keluargaku. Secara bergantian aku atau Asih bermain ke rumah kami masing-masing. Asih anak pertama dan mempunyai 3 orang adik, dua perempuan dan satu laki-laki. Ayahnya seorang guru dan ibunya seorang penjahit. Kehidupannya sederhana di sebuah desa yang tidak jauh dari tempat tinggalku.
Kami berpisah sekolah ke jenjang berikutnya. Asih melanjutkan ke sekolah yang tergolong favorit di kota, sedangkan aku tetap melanjutkan ke sekolah yang tidak jauh dari rumahku. Kami tetap berkomunikasi melalui surat berperangko. Rajin sekali Asih berkirim surat dan aku pun rajin membalasnya. Dalam satu suratnya, Asih pernah bercerita kalau dia menyukai kakak kelasnya. Dan gayung bersambut, ternyata sang kakak kelas yang bernama Anto juga menyukai Asih. Akhirnya mereka merajut kasih sepasang remaja. Aku pernah dikenalkan dengan laki-laki pujaannya itu. Cukup tampan dan berpostur tinggi tegap. Pria idaman wanita. Mereka terlihat sangat bahagia dan aku cukup iri melihat kemesraan mereka. Kapan aku bisa seperti mereka ya ? Maklum, waktu itu aku belum punya tambatan hati.
Aku cukup terkejut, saat membaca surat Asih berikutnya. Dia berkeluh kesah tentang orang tuanya yang tidak setuju dengan kehadiran Anto. Anto dianggap tidak cukup layak mendampingi Asih yang cantik dan hatinya lembut itu. Aku sendiri tidak tahu pasti apa alasan sebenarnya, karena aku melihat Anto bukanlah tipe laki-laki berangasan. Dia cukup baik. Mungkin ayah atau ibu Asih punya pendapat sendiri yang tak terbantahkan. Masalah bibit, bobot, bebet yang dijunjung tinggi masyarakat Jawa barangkali. Aku tidak tahu dan tidak berhak untuk turut campur terlalu jauh.
Yang pasti, Asih cukup terpukul akan kenyataan itu. Asih dan Anto sempat menjalani backstreet, tapi pada akhirnya Anto menyerah dan lebih memilih meninggalkan Asih. Anto tidak cukup tahan akan penolakan keluarga Asih dan tidak berniat untuk memperjuangkan kekuatan cinta mereka. Asih semakin limbung, tidak menyangka cinta pertamanya kandas di tengah jalan. Asih yang lugu, yang sangat mengagungkan cinta harus menguatkan dirinya menghadapi kenyataan pahit ini.
Masih terekam jelas dalam ingatanku bagaimana berbinarnya Asih saat bercerita Anto telah mencium dan memeluknya. Begitu polosnya Asih bercerita tentang pengalaman pertamanya itu. Saat itu aku hanya mengingatkan untuk berhati-hati supaya tidak terlena dalam hubungan yang terlalu jauh.
Tak lama berselang, Asih menangis tersedu-sedu menyadari kenyataan Anto telah menemukan wanita lain sebagai pengganti dirinya. Sebagian dirinya belum rela jika Anto tega melakukan hal itu. Aku hanya bisa menghibur untuk tidak terlalu memikirkannya. Masih banyak laki-laki lain dan tidak dipungkiri Asih cukup banyak disukai laki-laki. Tapi hati Asih masih tertambat pada Anto cinta pertamanya. Yah..mungkin waktu mampu membantu Asih untuk sedikit demi sedikit melupakan Anto dan menggantinya dengan sosok lain yang lebih baik. Itu harapanku.
Setelah kejadian itu, frekuensi hubunganku dengan Asih mulai merenggang karena kesibukan kami masing-masing. Kami kembali bertemu saat sama-sama diterima di PTN kota Gudeg tercinta. Kami beda fakultas. Senang sekali kami bisa mewujudkan impian kuliah di kampus rakyat itu. Aku melihat Asih kembali menemukan keceriaannya. Bahkan aku iri dengan prestasi Asih yang mempunyai IPK hampir 4 ! Ck..ck..ck..aku mengaguminya. Asih memang pintar. IPK ku sendiri sedang-sedang sajalah..yang penting bisa buat cari beasiswa.
Aku berpikir, Asih sudah bisa melupakan Anto. Tapi ternyata aku salah, Asih masih berusaha untuk menghubungi Anto. Asih masih terobsesi untuk memiliki Anto, bahkan tidak peduli sekalipun Anto telah memiliki gadis lain. Apa yang terjadi denganmu, Sih ? Kabar terakhir yang kudengar, Asih bertengkar hebat dengan Anto yang tidak menginginkan Asih kembali menjadi bagian hidupnya. Dan yang lebih mengagetkan lagi, Asih depresi berat sampai harus minum obat penenang. Orang tuanya sangat khawatir dan tidak memperbolehkan aku menemui Asih dengan alasan Asih sedang tidur dan perlu beristirahat. Aku cukup kecewa, sebegitu parahkah, sampai aku sahabatnya tidak boleh menemuinya ?
Beberapa bulan kemudian, aku mendapatkan undangan pernikahan Asih dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Ada apa lagi ini ? Asih belum selesai kuliah, kenapa cepat-cepat dinikahkan ? Bahkan dengan pria yang tidak dicintainya ? Kepalaku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tapi tidak berhasil menemukan jawaban karena tiba-tiba orang tua Asih menjadi bersikap tertutup denganku. Beda sekali dengan sikapnya yang dulu.
Aku menghadiri pernikahan Asih, dan aku sangat terkejut melihat Asih yang sangat pucat dan tatapan matanya kosong. Tampak sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Tapi kenapa harus dipaksakan ? Beberapa menit sebelum akad nikahnya, Asih masih sempat menyadari kehadiranku dan membalas senyumanku dengan begitu hambar. Tersirat ada duka yang dipendamnya. Dan pernikahan itu terjadilah, walaupun menyimpan misteri buatku.
Saat aku telah bekerja di luar kota, aku terkejut ketika ibuku menelepon dari rumah menceritakan bahwa ada Asih ke rumahku tanpa memakai alas kaki. Asih berjalan kaki cukup jauh dari rumahnya menuju rumahku. Kata ibuku, Asih tampak sangat lelah dan berusaha kabur dari rumah dan suaminya. Seharian Asih tidur di masjid sebelum ke rumahku, tanpa membawa bekal dan alas kaki. Dia membawa uang dua ratus ribu rupiah.
Kepada ibuku, Asih bercerita bahwa beban hidupnya sangat berat. Singkat cerita, saat Asih depresi dulu dan harus minum obat penenang, orang tuanya tidak sanggup lagi membayar dokter jiwa. Kemudian orang tuanya berinisiatif melalui pengobatan alternatif dengan harapan Asih bisa sembuh sepenuhnya dan bisa melanjutkan kembali kuliahnya yang terbengkalai.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Asih malah diperkosa oleh orang yang dipercaya bisa menyembuhkannya. Ya, Tuhan…aku sangat terkejut mendengarnya. Bagaimana mungkin ada laki-laki yang menyalahgunakan kepercayaan dengan memanfaatkan keadaan sehingga tega merenggut kehormatan gadis lemah tak berdaya dengan paksa hanya untuk memenuhi nafsu binatangnya ?
Aku mencoba merangkai peristiwa demi peristiwa yang menimpa Asih. Mungkinkah pernikahan yang terjadi antara Asih dengan laki-laki pilihan orang tuanya hanya kamuflase belaka untuk menutupi aib bahwa keperawanan Asih telah direnggut paksa oleh orang yang bejad moralnya ? Dan orang tua Asih memanfaatkan rasa suka Ais, laki-laki tetangga yang diam-diam memendam cinta kepada Asih dari sejak kecil hingga menawarkan Asih untuk dinikahi? Entahlah..
Yang pasti sejak dari hari pertama pernikahannya, Asih tidak pernah mau digauli oleh laki-laki yang telah resmi menikahinya. Jika malam menjelang, Asih berlari menuju kamar orang tuanya dan tidak mau tidur dengan suaminya. Asih tidak menyadari sepenuhnya apa arti pernikahannya. Mungkin harapan orang tuanya, Asih bisa sembuh secara perlahan dengan belajar mencintai laki-laki lain. Tapi yang terjadi Asih malah trauma dengan pemerkosaan yang pernah menimpanya dan mengangggap semua laki-laki sama bejadnya tak terkecuali Ais, suaminya.
Laki-laki mana yang betah diperlakukan seperti itu. Kabar terakhir yang kudengar, Ais menggugat cerai Asih dan resmilah Asih menjadi janda tanpa seorang anak. Dan yang lebih membuatku miris, Asih yang kutemui terakhir kali bukanlah Asih yang selama ini kukenal. Dia tidak lagi mengenalku dan dia terlalu sibuk meratapi kehidupannya yang sangat berat. Asih..apa yang bisa aku perbuat untuk membuatmu seperti dulu lagi ?
“Asih..Asih..,” berkali-kali aku memanggilnya. Dia sudah tidak mengenaliku lagi. Sebagian memorinya tentangku menghilang. Aku tergugu menangis pilu. Betapa malangnya nasibmu, Sih..Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi ?
Asih adalah sahabat masa kecilku. Kami selalu belajar bersama, duduk sebangku di sekolah dan teman bermain bersama. Kala itu kami bersaing secara sehat di sekolah. Peringkat tiga besar di kelas selalu kami raih bersama. Kadang aku yang ranking satu, Asih menduduki ranking dua. Atau sebaliknya, kadang Asih yang ranking satu, aku yang ranking dua. Selalu begitu. Kami saling melengkapi. Tak ada persaingan diantara kami.
Kami saling membantu dan saling memberi kado dengan harga yang telah ditetapkan pada saat aku atau Asih yang berulang tahun. Aku ingat, harga yang ditetapkan untuk kado kami saat itu adalah seharga seribu lima ratus rupiah yang sebanding dengan sepuluh ribu rupiah di saat sekarang. Aku memberinya boneka kecil seharga itu pada saat Asih berulang tahun ke-12. Dia sangat bahagia menerimanya. Dan saat aku berulang tahun, dia memberiku pita rambut dengan harga yang sama aku berikan padanya. Betapa bahagianya aku saat itu.
Aku mengenal baik keluarga Asih, demikian juga Asih mengenal baik keluargaku. Secara bergantian aku atau Asih bermain ke rumah kami masing-masing. Asih anak pertama dan mempunyai 3 orang adik, dua perempuan dan satu laki-laki. Ayahnya seorang guru dan ibunya seorang penjahit. Kehidupannya sederhana di sebuah desa yang tidak jauh dari tempat tinggalku.
Kami berpisah sekolah ke jenjang berikutnya. Asih melanjutkan ke sekolah yang tergolong favorit di kota, sedangkan aku tetap melanjutkan ke sekolah yang tidak jauh dari rumahku. Kami tetap berkomunikasi melalui surat berperangko. Rajin sekali Asih berkirim surat dan aku pun rajin membalasnya. Dalam satu suratnya, Asih pernah bercerita kalau dia menyukai kakak kelasnya. Dan gayung bersambut, ternyata sang kakak kelas yang bernama Anto juga menyukai Asih. Akhirnya mereka merajut kasih sepasang remaja. Aku pernah dikenalkan dengan laki-laki pujaannya itu. Cukup tampan dan berpostur tinggi tegap. Pria idaman wanita. Mereka terlihat sangat bahagia dan aku cukup iri melihat kemesraan mereka. Kapan aku bisa seperti mereka ya ? Maklum, waktu itu aku belum punya tambatan hati.
Aku cukup terkejut, saat membaca surat Asih berikutnya. Dia berkeluh kesah tentang orang tuanya yang tidak setuju dengan kehadiran Anto. Anto dianggap tidak cukup layak mendampingi Asih yang cantik dan hatinya lembut itu. Aku sendiri tidak tahu pasti apa alasan sebenarnya, karena aku melihat Anto bukanlah tipe laki-laki berangasan. Dia cukup baik. Mungkin ayah atau ibu Asih punya pendapat sendiri yang tak terbantahkan. Masalah bibit, bobot, bebet yang dijunjung tinggi masyarakat Jawa barangkali. Aku tidak tahu dan tidak berhak untuk turut campur terlalu jauh.
Yang pasti, Asih cukup terpukul akan kenyataan itu. Asih dan Anto sempat menjalani backstreet, tapi pada akhirnya Anto menyerah dan lebih memilih meninggalkan Asih. Anto tidak cukup tahan akan penolakan keluarga Asih dan tidak berniat untuk memperjuangkan kekuatan cinta mereka. Asih semakin limbung, tidak menyangka cinta pertamanya kandas di tengah jalan. Asih yang lugu, yang sangat mengagungkan cinta harus menguatkan dirinya menghadapi kenyataan pahit ini.
Masih terekam jelas dalam ingatanku bagaimana berbinarnya Asih saat bercerita Anto telah mencium dan memeluknya. Begitu polosnya Asih bercerita tentang pengalaman pertamanya itu. Saat itu aku hanya mengingatkan untuk berhati-hati supaya tidak terlena dalam hubungan yang terlalu jauh.
Tak lama berselang, Asih menangis tersedu-sedu menyadari kenyataan Anto telah menemukan wanita lain sebagai pengganti dirinya. Sebagian dirinya belum rela jika Anto tega melakukan hal itu. Aku hanya bisa menghibur untuk tidak terlalu memikirkannya. Masih banyak laki-laki lain dan tidak dipungkiri Asih cukup banyak disukai laki-laki. Tapi hati Asih masih tertambat pada Anto cinta pertamanya. Yah..mungkin waktu mampu membantu Asih untuk sedikit demi sedikit melupakan Anto dan menggantinya dengan sosok lain yang lebih baik. Itu harapanku.
Setelah kejadian itu, frekuensi hubunganku dengan Asih mulai merenggang karena kesibukan kami masing-masing. Kami kembali bertemu saat sama-sama diterima di PTN kota Gudeg tercinta. Kami beda fakultas. Senang sekali kami bisa mewujudkan impian kuliah di kampus rakyat itu. Aku melihat Asih kembali menemukan keceriaannya. Bahkan aku iri dengan prestasi Asih yang mempunyai IPK hampir 4 ! Ck..ck..ck..aku mengaguminya. Asih memang pintar. IPK ku sendiri sedang-sedang sajalah..yang penting bisa buat cari beasiswa.
Aku berpikir, Asih sudah bisa melupakan Anto. Tapi ternyata aku salah, Asih masih berusaha untuk menghubungi Anto. Asih masih terobsesi untuk memiliki Anto, bahkan tidak peduli sekalipun Anto telah memiliki gadis lain. Apa yang terjadi denganmu, Sih ? Kabar terakhir yang kudengar, Asih bertengkar hebat dengan Anto yang tidak menginginkan Asih kembali menjadi bagian hidupnya. Dan yang lebih mengagetkan lagi, Asih depresi berat sampai harus minum obat penenang. Orang tuanya sangat khawatir dan tidak memperbolehkan aku menemui Asih dengan alasan Asih sedang tidur dan perlu beristirahat. Aku cukup kecewa, sebegitu parahkah, sampai aku sahabatnya tidak boleh menemuinya ?
Beberapa bulan kemudian, aku mendapatkan undangan pernikahan Asih dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Ada apa lagi ini ? Asih belum selesai kuliah, kenapa cepat-cepat dinikahkan ? Bahkan dengan pria yang tidak dicintainya ? Kepalaku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tapi tidak berhasil menemukan jawaban karena tiba-tiba orang tua Asih menjadi bersikap tertutup denganku. Beda sekali dengan sikapnya yang dulu.
Aku menghadiri pernikahan Asih, dan aku sangat terkejut melihat Asih yang sangat pucat dan tatapan matanya kosong. Tampak sekali dia tidak bahagia dengan pernikahannya. Tapi kenapa harus dipaksakan ? Beberapa menit sebelum akad nikahnya, Asih masih sempat menyadari kehadiranku dan membalas senyumanku dengan begitu hambar. Tersirat ada duka yang dipendamnya. Dan pernikahan itu terjadilah, walaupun menyimpan misteri buatku.
Saat aku telah bekerja di luar kota, aku terkejut ketika ibuku menelepon dari rumah menceritakan bahwa ada Asih ke rumahku tanpa memakai alas kaki. Asih berjalan kaki cukup jauh dari rumahnya menuju rumahku. Kata ibuku, Asih tampak sangat lelah dan berusaha kabur dari rumah dan suaminya. Seharian Asih tidur di masjid sebelum ke rumahku, tanpa membawa bekal dan alas kaki. Dia membawa uang dua ratus ribu rupiah.
Kepada ibuku, Asih bercerita bahwa beban hidupnya sangat berat. Singkat cerita, saat Asih depresi dulu dan harus minum obat penenang, orang tuanya tidak sanggup lagi membayar dokter jiwa. Kemudian orang tuanya berinisiatif melalui pengobatan alternatif dengan harapan Asih bisa sembuh sepenuhnya dan bisa melanjutkan kembali kuliahnya yang terbengkalai.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Asih malah diperkosa oleh orang yang dipercaya bisa menyembuhkannya. Ya, Tuhan…aku sangat terkejut mendengarnya. Bagaimana mungkin ada laki-laki yang menyalahgunakan kepercayaan dengan memanfaatkan keadaan sehingga tega merenggut kehormatan gadis lemah tak berdaya dengan paksa hanya untuk memenuhi nafsu binatangnya ?
Aku mencoba merangkai peristiwa demi peristiwa yang menimpa Asih. Mungkinkah pernikahan yang terjadi antara Asih dengan laki-laki pilihan orang tuanya hanya kamuflase belaka untuk menutupi aib bahwa keperawanan Asih telah direnggut paksa oleh orang yang bejad moralnya ? Dan orang tua Asih memanfaatkan rasa suka Ais, laki-laki tetangga yang diam-diam memendam cinta kepada Asih dari sejak kecil hingga menawarkan Asih untuk dinikahi? Entahlah..
Yang pasti sejak dari hari pertama pernikahannya, Asih tidak pernah mau digauli oleh laki-laki yang telah resmi menikahinya. Jika malam menjelang, Asih berlari menuju kamar orang tuanya dan tidak mau tidur dengan suaminya. Asih tidak menyadari sepenuhnya apa arti pernikahannya. Mungkin harapan orang tuanya, Asih bisa sembuh secara perlahan dengan belajar mencintai laki-laki lain. Tapi yang terjadi Asih malah trauma dengan pemerkosaan yang pernah menimpanya dan mengangggap semua laki-laki sama bejadnya tak terkecuali Ais, suaminya.
Laki-laki mana yang betah diperlakukan seperti itu. Kabar terakhir yang kudengar, Ais menggugat cerai Asih dan resmilah Asih menjadi janda tanpa seorang anak. Dan yang lebih membuatku miris, Asih yang kutemui terakhir kali bukanlah Asih yang selama ini kukenal. Dia tidak lagi mengenalku dan dia terlalu sibuk meratapi kehidupannya yang sangat berat. Asih..apa yang bisa aku perbuat untuk membuatmu seperti dulu lagi ?
No comments:
Post a Comment