Tuesday, August 24, 2010

Minder Akut

Ada seseorang datang ke gubug Nining. Dari kejauhan, Nining sudah tahu akan ada tamu ke gubugnya. Secepat kilat Nining segera masuk ke dalam gubug dan diam mendekam di dalam kamar. Nining mendengar pintu diketuk, tapi Nining diam saja. Nining juga mendengar suara permisi dari tamu itu tapi tidak bergerak untuk menemuinya. Nining hanya berharap semoga kakaknya mau menemui tamu itu. Dan Nining bisa bernafas lega ketika kakaknya keluar menemui tamu itu.

Nining menyadari, ada sesuatu yang tak beres dalam dirinya. Ada ketakutan dalam dirinya untuk bertemu dengan orang lain yang datang ke gubugnya. Nining tidak merasa orang itu jahat, hanya Nining tidak merasa nyaman jika harus menampakkan batang hidungnya untuk sekedar memberi minuman ataupun berbasa-basi sejenak. Nining lebih memilih diam di dalam kamar, selama mungkin sampai tamu itu pulang. Tak peduli hingga beberapa jam, selama itu pula Nining mendekam di kamar. Aneh memang, rasa minder Nining sudah sangat parah.

Nining mempunyai perasaan yang takut diabaikan, takut dipandang sebelah mata, takut salah ngomong, takut mengemukakan pendapatnya. Serba salah..ya..Nining merasa semua yang dilakukan serba salah di mata dirinya dan orang lain. Ada suara-suara dalam pikiran Nining yang men-judge “ kamu jelek..kamu miskin..kamu tidak berguna..” menggema berulang-ulang dan seolah-olah kata-kata itu yang dipikirkan oleh orang lain tentang dirinya.

Di sekolah pun, Nining punya rasa takut berlebihan kepada ibu kepala sekolah ataupun guru-guru. Dalam bayangannya, dirinya seolah-olah diawasi sehingga kalau berbuat salah sedikit, nanti pasti akan dimarahi atau dihukum. Padahal, itu semua tidak pernah terjadi di alam nyata, hanya suatu racun yang ada di kepala Nining. Nining iri kepada teman-temannya yang bisa bercanda tawa dengan bapak ibu guru. Nining ingin bisa luwes, tapi semua itu terhalau oleh pikirannya sendiri yang meracuni. Selalu ada kata-kata “ kamu bukan siapa-siapa..kamu anak miskin..kamu tidak pantas..”. Ah..betapa pikiran ini sangat membelenggu Nining.

Nining ingin mengusir rasa malunya yang berlebihan, ingin membuang rasa rendah dirinya, ingin keluar dari krisis identitasnya. Nining merasa tiada guna dengan sifat jeleknya ini. Nining butuh seseorang yang bisa mengerti keadaannya. Nining tidak ingin terus-terusan bersikap tertutup dan hanya diam-diam meratapi kemiskinannya. Nining harus berbuat sesuatu.

Nining selalu merasa nyaman bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Mengandaikan dirinya sedang ngobrol dengan seseorang. Ada dua pribadi dalam dirinya saat itu. Semua yang ada dalam khayalannya dikeluarkan seperti suatu sandiwara. Ya..Nining memang senang berkhayal. Suatu waktu dia pernah berandai-andai menjadi anak orang kaya. Segala yang dia inginkan ada, baju yang bagus, rumah megah, mobil mewah..semuanya terasa sangat nyaman dan membahagiakan. Di lain waktu Nining juga berangan-angan jika dewasa nanti dia menjadi seseorang yang popular, dikenal masyarakat akan karyanya. Karya yang mana Nining belum paham, yang pasti Nining senang bernyanyi, main musik, main drama dan senang menulis. Nining bermimpi salah satu bakatnya bisa berkembang dan menghasilkan sesuatu yang bisa berguna dan dikenal bagi orang lain.

Dalam pergaulan dengan teman yang sudah dikenal, sebenarnya Nining tidak ada masalah. Nining bisa bercanda dan menjadi teman yang asyik bagi teman-temannya. Hanya kepada orang-orang tertentu yang bagi Judith tidak nyaman saja, Nining tidak bisa luwes bergaul. Ada semacam tembok tebal yang menghalangi keduanya. Nining tidak tahu itu apa, semacam ketidakcocokan aura, atau ada kekuatan lain yang saling tolak-menolak. Dan, untuk amannya, Nining lebih suka untuk menghindar. Pura-pura tidak saling kenal dan tidak terlibat dalam percakapan sama sekali. Sungguh aneh tapi nyata..

Monday, August 23, 2010

Tragedi Raport


Gambar dipinjam dari sini
Nining bangun pagi-pagi dan segera mandi. Dikenakannya seragam putih merahnya. Ibunya sedang sibuk memasak di dapur. Entah apa yang sedang dimasaknya, yang pasti perut Nining sudah berontak ingin segera sarapan. Di meja makan yang sudah mulai merapuh itu, Nining menikmati sekepal nasi dan mie rebus instant yang banyak sekali kuahnya. Nining maklum, dalam keadaan serba kekurangan seperti ini tetap harus bersyukur masih bisa sarapan. Satu bungkus mie dimasak dengan air sepanci penuh ditambah garam dan sedikit bumbu supaya cukup untuk dimakan bersama anggota keluarganya yang lain. Sesekali ditambah dengan sayuran yang bisa dipetik di sekitar rumah seperti daun singkong, bayam, kacang panjang, kol atau apa sajalah yang penting tidak membuat mie rebus itu sepi karena minim mie-nya. Paling tidak, sarapan kali ini cukup memberi energi kepada Nining untuk berjalan sampai ke sekolahnya yang cukup jauh jaraknya itu. Kalau tidak salah, jaraknya sekitar 7 km.

Nining menapaki pematang sawah dengan langkah-langkah kaki kurusnya. Hari masih cukup pagi dan udara pagi ini cukup dingin. Kelak, udara sedingin ini bisa terasa panas karena peluh yang mulai keluar membasahi baju seragam Nining satu-satunya itu. Paling tidak, setengah jam perjalanan ditempuh Nining dengan berjalan kaki hingga tiba di sekolahnya. Biasanya kaki Nining mulai menapakkan di gerbang sekolah bertepatan dengan bunyi bel yang berdentang. Tak ada jeda waktu bagi Nining beristirahat barang sejenak menata nafasnya. Gurunya sudah bersiap menuju kelasnya jam tujuh tepat.

“Selamat, pagi bu Guruuu…..,” serentak Nining dan teman-temannya memberi salam kepada ibu Guru. Ritual setiap pagi sebelum memulai pelajaran yang dipimpin aba-aba oleh sang ketua kelas setelah berdoa.

“Selamat pagi, Anak-anak ! Besok adalah hari penerimaan raport kalian, Ibu berpesan bagi yang belum membayar SPP harap segera dilunasi. Sampaikan kepada orang tua kalian !”

Glek. Nining menelan ludah. Sudah dua bulan ini Bapak Nining belum bisa membayar SPP-nya. Kemarin adalah giliran kakaknya yang harus bayar SPP dahulu karena tidak bisa ikut ujian jika belum membayar SPP. Sedangkan di sekolah Nining, siswa boleh ikut ujian sekalipun belum membayar SPP, tapi harus segera dilunasi jika akan penerimaan raport. Nining harap-harap cemas jika ibu Guru menyebut namanya di depan kelas sebagai anak yang belum membayar SPP. Nining bersiap untuk menutup rasa malunya di depan teman-temannya jika itu terjadi. Tapi ternyata, ibu guru hanya menatapnya sekilas dan tidak berkata apa-apa lagi. Cukup sudah. Hff..Nining bernafas lega.

Sampai di gubug, Nining bingung kata apa yang akan disampaikan kepada ayahnya perihal tunggakan SPP-nya. Nining sangat mengerti kondisi keluarganya, dan tidak ingin menambah beban berat orang tuanya sekalipun itu adalah suatu kewajiban. Jangka waktu satu hari jelas tidak mungkin bagi Bapaknya mendapatkan uang sejumlah 2 bulan SPP-nya. Untuk makan sehari-hari saja kesulitan, apalagi untuk yang lain-lain. Nining hanya bisa berharap, semoga akan ada suatu keajaiban yang terjadi

Pagi harinya, Nining pergi ke sekolah berboncengan sepeda dengan Bapak, memenuhi undangan orang tua yang harus hadir saat penerimaan raport. Bapak sudah tahu jika Nining menunggak SPP 2 bulan, oleh karena itu Bapak akan berbicara dengan guru di sekolah Nining untuk minta kelonggaran waktu dalam membayar. Bapak Nining tidak meminta keringanan, tapi hanya minta waktu yang cukup supaya bisa mencari uang untuk membayar SPP Nining.

Para orang tua murid sudah banyak yang berkumpul di aula sekolah. Hari ini adalah penerimaan raport kenaikan kelas yang artinya Nining akan naik ke kelas lima jika tidak tinggal kelas. Selain acara pembagian raport, akan diumumkan pula siapa-siapa yang menjadi juara kelas di kelasnya masing-masing. Para orang tua menjadi saksi keberhasilan putra-putrinya dalam belajar.

Ternyata, Nining menduduki ranking kedua di kelasnya dan sudah tentu naik ke kelas lima. Bapak sangat bangga akan prestasi Nining, namun menjadi sebuah ironi ketika buku raport yang membanggakan itu hanya boleh dilihat oleh Bapak dan Nining di sekolah saja, tidak boleh dibawa pulang sebelum membayar tunggakan SPP. Nining cukup sedih, tapi apa daya, Nining tidak ingin membuat Bapaknya lebih sedih lagi. Cepat-cepat dihapusnya air mata yang hampir berlinangan di pipi jangan sampai sempat terlihat oleh Bapaknya.


Setidaknya, Nining cukup bersyukur tinggal di tengah sawah yang jauh dari para tetangga itu. Hanya keluarga Nining sendiri yang tinggal di tengah sawah ini. Mereka hanya bertegur sapa dengan para petani yang menggarap sawah dari pagi hingga sore hari. Selebihnya, tak ada orang lain yang bisa disebut sebagai tetangga. Kalaupun Nining ingin bermain, bermain sendiri dengan alam saja. Teman-teman sekolahnya sangatlah jauh rumahnya yang dekat dengan sekolahan sana. Tapi ketiadaan tetangga ini sedikit menguntungkan Nining saat kenaikan sekolah begini.


Tidak ada yang bertanya dan ingin melihat raportnya seperti saat Nining tinggal di kampung dulu. Nining tidak tahu harus memberi jawaban yang masuk akal apa jika itu terjadi. Mungkin jika terpaksa, Nining harus berkata jujur apa adanya. Nining naik kelas, ranking kedua, tapi raportnya ditahan di sekolah karena belum bayar SPP. Adakah yang percaya dengan jawaban seperti itu ? Mungkin hanya cemoohan yang diterima, mengira Nining telah berbohong karena tidak bisa menunjukkan bukti. Pasti para tetangga itu mengira Nining nilainya jelek dan malu memperlihatkan raportnya. Ah, manusia..bicara jujur saja masih dianggap bohong

Tuesday, August 17, 2010

Upacara Bendera Yang Memalukan


Setiap merayakan hari kemerdekan Negara tercinta Republik Indonesia, saya selalu terkenang akan masa-masa di bangku sekolah yang rutin melaksanakan upacara bendera setiap hari senin dan hari besar nasional. Tidak dipungkiri, saat menjadi peserta atau petugas pelaksana upacara kala itu, rasa bosan seringkali menyergap karena upacara bendera sudah menjadi agenda rutin yang wajib diikuti seluruh warga sekolah.

Tak jarang terlihat pemandangan usil para siswa yang saling bisik-bisik atau mengobrol selama upacara berlangsung. Posisi berdiri yang seharusnya tegak berubah menjadi posisi santai apalagi jika berada di barisan belakang. Mungkin kalau jaman saya sekolah dulu sudah ada HP, siswa akan sibuk sms-an, facebook-an atau twitter-an saling menuliskan status sedang upacara. Sering terdengar gerutuan siswa karena kepanasan, berharap supaya bapak Pembina tidak berpanjang lebar dalam memberikan amanat-nya.

Saya pernah punya pengalaman cukup memalukan yang berkaitan dengan upacara bendera ini. Saya dan satu teman saya lupa membawa topi, padahal topi merupakan atribut wajib yang harus dipakai untuk upacara. Berasumsi bahwa rumah saya dekat dengan sekolah, saya dan teman inisiatif mengambil topi itu kerumah di menit sepuluh menjelang pukul tujuh pagi, waktu dimulai upacara. Sudah dibela-belain naik motor ngebut, tapi saya tetap terlambat sampai di sekolah, upacara sudah dimulai dan saya serta teman saya kena razia pak Guru. Tanpa ampun saya dan teman saya digiring maju ke tengah lapangan bergabung dengan siswa lain yang bandel tidak memakai atribut dan yang datang terlambat. Aduh..malunya dilihat satu sekolah, mana yang lain laki-laki semua kecuali saya dan teman saya yang tadi ambil topi.

Hukuman tidak berhenti disitu, setelah selesai upacara, saya dan teman ‘bandel’ lainnya digiring masuk ke ruang guru BP untuk diberi pengarahan. Tangis saya tumpah berderai sesudah mendengar wejangan pak guru. Maklum, saat itu saya pengidap cengeng yang cukup akut. Selain itu, saya termasuk siswa yang cukup tertib sebelumnya, jadi teman-teman yang lain cukup heran juga saya bisa dipanggil guru BP seolah-olah saya ini siswa yang suka bikin ulah. Hiks..gara-gara lupa, jadi kacau semuanya..

Terus, pengalaman yang menurut saya cukup berkesan sekaligus memalukan adalah ketika menjadi pemimpin upacara. Haiyaa..saya termasuk pemimpin upacara perempuan pertama di kelas saya kala itu. Hanya bermodal sifat cuek bebek sok pede, saat memberi aba-aba : “ Kepada sang merah putih hooorrrrmmaaaatttt….grrrrraaaaakkkk…..” Pas kata-kata grak, suara saya keseleo menghasilkan suara yang nggak balance dan cukup fals sehingga terdengar aneh dan mngundang tawa tertahan seluruh peserta upacara. Muka saya merah padam tapi demi berlangsungnya upacara yang khidmat, saya tahan rasa malu itu sampai upacara selesai. Wah..

Kalau dingat-ingat sekarang, rasanya ingin kembali mengulang kenangan untuk ikut upacara bendera lagi, merasakan menjadi peserta sekaligus sebagai petugas. Beruntung saya pernah merasakan semua tugas di upacara bendera dari menjadi pemimpin upacara, pemimpin pasukan, pengibar bendera, dirigent, pembaca UUD 1945, pembawa teks Pancasila, sampai pembawa acara / MC sudah saya lakoni semua. Semua ada suka, duka dan resiko. Kalau ada kesalahan, ya paling diketawain dan jadi hiburan semua peserta. Membuat bahagia orang lain kan menyenangkan, ya toh ?

Upacara bendera, mestinya menjadi suatu ritual untuk mengingat kembali perjuangan para pahlawan yang telah berjuang memerdekakan bangsa. Tanpa jasa beliau-beliau mungkin saat ini kita masih dijajah oleh penjajah dari luar negeri.

Lha sekarang menjadi pertanyaan kita sendiri, kalau kita tidak rela dijajah oleh bangsa lain, apakah sekarang kita rela dijajah oleh bangsa sendiri termasuk diri kita sendiri setelah merdeka ? Lalu kemerdekaan seperti apa yang kita inginkan ? Tentunya ini menjadi bahan renungan kita di Dirgahayu HUT RI ke-65. Merdeka ! ( Semoga..)

Friday, August 13, 2010

Dilema Pramuka


Seperti yang sudah diumumkan oleh Pak Bambang, selaku guru olahraga merangkap sebagai kakak Pembina Pramuka, harusnya hari ini adalah hari pertama Nining dan teman-teman sekolahnya ikut pramuka. Tapi kali ini, Nining lebih memilih berada di rumah saja. Sepulang dari sekolah jam satu tadi, Nining tidak berani keluar dari rumah. Takut kalau-kalau ada temannya yang nyamper untuk ikut Pramuka. Nining melirik jam kecil yang ada di meja yang menunjuk pukul 13.45 WIB, berarti lima belas menit lagi kegiatan Pramuka dimulai di sekolahnya. Nining sibuk menerka kira-kira berapa temannya yang hadir. Ah..mungkin semuanya ikut, kecuali dirinya.

Sebenarnya, Nining sangat gelisah saat ini. Berkali-kali digulingkannya tubuhnya di kasur kapuk yang mulai menipis itu. Sesekali matanya mengintip dari lubang gedeg rumahnya, ingin tahu siapa temannya yang lewat di seberang jalan tak jauh dari gubugnya, berseragam pramuka menuju sekolahnya. Sedikit cemas, Nining berharap semoga teman-temannya tidak menyadari keberadaannya dan berinisiatif menjemputnya ke rumah seperti yang sudah-sudah. Maklum, jarak rumah dan sekolah yang dekat membuat teman sekolah Nining banyak yang suka bermain di sini. Ah..semoga saja tidak ada yang nyamper Nining tiba-tiba.

Sejujurnya, Nining suka dengan kegiatan Pramuka. Belajar tali temali, belajar sandi, bertualang, berkemah, bersahabat dengan alam, belajar disiplin dan bertanggung jawab. Tapi..kenapa harus pakai seragam coklat tua dan coklat muda ? Kenapa tidak warna putih merah saja ? Ah..itu sama artinya Nining harus menodong bapaknya untuk membelikan seragam pramuka, dan sudah pasti Nining tidak bisa langsung mendapatkan jawabannya. Nining sudah sangat paham dengan arti kata menunggu. Dan lagi, Nining tidak mau ini menjadi beban orang tuanya ! Jadi, tidak ikut kegiatan ini sampai nanti seragam itu ada, sementara menjadi tempat teraman bagi Nining.

Dan jika nanti teman-temannya bahkan gurunya bertanya, Nining perlu mempersiapkan jawabannya. Bilang saja ketiduran, beres..what ? Itu artinya Nining sudah berani berbohong, jadi.. ? Entahlah..Nining merasa pusing tiba-tiba. Walau ada sedikit rasa lega di hatinya, ketika melirik jam sudah pukul 14.30 dan tidak ada satupun temannya yang menyamper. Hff..

Benar saja, esok hari saat kaki Nining baru sampai di pintu kelas, beberapa pertanyaan sudah memberondongnya bertubi-tubi. Nining lemas seketika.

“Nining, kenapa kemarin tidak ikut Pramuka ?”
“Kata Pak Bambang, Pramuka ini wajib diikuti, lho..”
“Asyik lho, kemarin diajarin tentang sandi morse..”
“Kemarin juga udah dibentuk regu..”
“Kamu belum dapat kelompok ya.. “

Aduh..ingin rasanya Nining berlari keluar dari kelas dan menutup rapat-rapat telinganya. Mereka semua tidak mengerti, dan tidak akan pernah mengerti. Nining hanya terdiam dan tidak ingin berkata apa-apa. Nining berjuang keras supaya air matanya tidak keluar begitu saja, hal yang biasa terjadi saat dirinya panik. Belum saatnya Nining berterus terang tentang keadaan yang sesungguhnya, dan bukan jalan keluar terbaik pula jika Nining harus terpaksa berbohong. Diam..adalah reaksi teraman, setidaknya untuk saat ini. Dan..teman-teman Nining menangkap sesuatu yang lain dari sikapnya kali ini, seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Dan tentu saja, mereka menjadi penasaran.

******

“Bapak..Nining perlu seragam Pramuka..”

Nining merasa, sekarang adalah waktu yang tepat untuk membicarakan dengan Bapak-nya. Sudah dua kali Nining tidak ikut kegiatan Pramuka, dan tadi Nining tidak enak ketika Pak Bambang sendiri yang mewajibkan dirinya untuk ikut Pramuka karena akan berpengaruh pada nilai Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Nining bergidik ngeri membayangkan jika nilai PMP-nya jelek dan berakibat tidak naik kelas. Jadi satu-satunya cara, Bapak harus membelikannya seragam Pramuka !

Bapak menatap Nining dalam-dalam. Tampak rona mukanya sedikit murung. Nining sebenarnya tahu dan sangat tahu apa yang ada dalam pikiran Bapak, tapi apa boleh buat..Nining tidak punya cara lain.

“Nanti Bapak usahakan cari, ya..”

Tangan Bapak mengusap rambut Nining pelan. Nining mengangguk dan matanya berkaca-kaca, entah untuk apa. Segara Nining berlalu dari pandangan bapaknya dan menumpahkan air mata di tempat tidurnya. Kamar sederhana yang dibatasi dengan kain penutup sebagai gordyn menjadi tempat terindahnya merajut mimpi. Nining berandai-andai jika saja saat ini ada seseorang yang baik hati memberikannya satu setel seragam Pramuka, maka Nining akan semangat ikut Pramuka tanpa ragu-ragu. Akan diikutinya kegiatan itu dengan suka cita dan penuh riang gembira. Tak ada alasan lagi untuk tidak ikut serta.

*****

“Gimana pak, seragamnya sudah ada ?”
“Aduh, maaf pak..saya sudah hubungi tokonya tapi stoknya masih kosong, pak..mungkin minggu depan jika sudah ada segera dikirim..”

Bapak Nining tampak lemas. Hari ini adalah hari Jumat, hari saat Nining ada kegiatan Pramuka tapi seragam itu belum ada. Bapak sudah mengupayakan ambil kredit di koperasi pabrik tempatnya bekerja sbagai buruh, tapi ternyata tidak bisa secepat yang dikira..maafkan Bapak, Nining..terpaksa kali ini kamu bolos Pramuka lagi..

****

“Nining, kenapa kemarin kamu belum ikut Pramuka juga ? Apa ada masalah ?,” Sita teman terbaik Nining bertanya hati-hati. Seperti biasa, Nining hanya bisa menggeleng.

“Cerita saja, Ning..aku tidak akan cerita pada siapa-siapa..”

“Nggak..nggak papa, Sita..mungkin minggu depan aku baru bisa ikut serta..”

“Hm..ya sudah..tapi bener ya..? Jangan sampai nggak ikut lho..O,ya Nining..aku punya seragam Pramuka kegedean, kamu mau pakai tidak ? Soalnya kemarin itu Papa belikan aku seragam Pramuka kegedean, padahal aku sudah punya 2 setel yang ukurannya pas dari mama..Kalau mau, besok aku bawakan ya..kayaknya pas deh buat kamu, aku kan lebih kecil dari kamu, sayang kalo nggak kepake, buat apa aku punya banyak, ya kan.. ?”

“Wah..sungguh Sita ? Mau..aku mau sekali..”

Mata Nining langsung berbinar bahagia. Sita turut bahagia. Oh..Tuhan..ternyata Engkau mendengar permohonanku..dalam hati Nining bersyukur. Engkau kirimkan orang-orang baik hati laksana malaikat tepat pada waktunya. Kemarin Sumi, sekarang Sita.

*****


Baru kali ini Nining merasakan hari Jumat adalah hari yang paling bahagia sedunia. Usai sudah kegelisahan sebelumnya setiap hari Jumat tiba. Nining bisa berdiri tegak diantara barisan murid-murid yang berseragam coklat lengkap dengan hasduk itu. Nining tampak bangga mengenakannya. Tiada lagi wajah murungnya.

Dan yang lebih membahagiakan Nining, ternyata seragam Pramukanya menjadi 2 pasang. Satu dari Sita, satu lagi dari Bapaknya hasil kredit di koperasi pabrik. Sebenarnya Nining ingin berkata kepada Bapaknya untuk membatalkan kreditannya di koperasi, tapi ternyata seragam itu telah tiba bersamaan dengan seragam Pramuka dari Sita. Ya..apa boleh buat. Semuanya tiada pernah Nining kira. Dan Bapak berjanji akan melunasi kredit seragam itu dengan segenap tanggung jawabnya. Ah..Nining iba sekaligus terharu dengan Bapak.
Gambar dipinjam dari sini

Tuesday, August 03, 2010

Chatting Dengan Tuhan


Bagi saya, Tuhan itu nyata tapi tidak bisa diraba dan kasat mata. Tuhan bisa dirasakan dalam berbagai rupa menurut versi saya. Kali ini, saya berkhayal, Tuhan menjelma sebagai sahabat karib saya yang bisa diajak bercengkrama dalam khayalan. Berikut chatting saya dengan Tuhan dalam imaji saya yang terinspirasi setelah membaca Kumpulan Cerita Mutiara Hati.

Saya : Allow..Tuhan..lagi sibuk ya ?

Tuhan : Sibuk tapi asyik kok..

Saya : Gimana kabarnya ?

Tuhan : Selalu baik..

Saya : Doa saya sudah sampai belum Tuhan, kok belum ada jawaban ya..

Tuhan : Lagi diproses..sabar ya..

Saya : Berapa lama lagi Tuhan, saya sudah nggak sabar nih..

Tuhan : Hm..antri dong, yang berdoa itu banyak, bukan cuma kamu, lagian yang nadanya mirip-mirip doamu juga banyak. Akan kuprioritaskan mana yang lebih urgent..

Saya : Saya juga urgent lho Tuhan..

Tuhan : Masih banyak yang lebih urgent dari kamu..

Saya : Ya..berarti masih lama banget ya..itu berlaku untuk seluruh dunia kan Tuhan ?

Tuhan : Ya iya lah..berlaku untuk semua makhluk ciptaanku..

Saya : Yah..capek saya harus menunggu dalam ketidakpastian..

Tuhan : Lebih capek mana sama Aku yang stand by 24 jam, hayo..? Tapi kamu tidak pernah mendengar keluh kesahku kan ?

Saya tersipu. Malu dengan sifat saya yang mudah mengeluh dan uring-uringan nggak jelas.

Saya : Tuhan, apakah dosa saya banyak Tuhan ?

Tuhan : Menurut kamu bagaimana ?

Saya : Kadang-kadang saya merasa tidak punya dosa tuh..

Tuhan : Hm..dosa berat itu termasuk ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak berdosa..

Saya tertunduk. Betapa sombongnya saya selama ini.

Tuhan : Ketika orang mati, diberi beban 100 kg menindih tubuhnya, apakah dia merasa berat ?

Saya : Tidak Tuhan, orang mati tidak akan merasakan beban seberat apapun..

Tuhan : Semoga kamu tidak seperti orang mati…

Saya terhenyak. Ya Tuhan..ampuni segala dosa-dosa saya selama ini..hidupkan kembali jiwa saya yang telah lama mati..
Gambar dipinjam dari sini
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...