Monday, August 23, 2010

Tragedi Raport


Gambar dipinjam dari sini
Nining bangun pagi-pagi dan segera mandi. Dikenakannya seragam putih merahnya. Ibunya sedang sibuk memasak di dapur. Entah apa yang sedang dimasaknya, yang pasti perut Nining sudah berontak ingin segera sarapan. Di meja makan yang sudah mulai merapuh itu, Nining menikmati sekepal nasi dan mie rebus instant yang banyak sekali kuahnya. Nining maklum, dalam keadaan serba kekurangan seperti ini tetap harus bersyukur masih bisa sarapan. Satu bungkus mie dimasak dengan air sepanci penuh ditambah garam dan sedikit bumbu supaya cukup untuk dimakan bersama anggota keluarganya yang lain. Sesekali ditambah dengan sayuran yang bisa dipetik di sekitar rumah seperti daun singkong, bayam, kacang panjang, kol atau apa sajalah yang penting tidak membuat mie rebus itu sepi karena minim mie-nya. Paling tidak, sarapan kali ini cukup memberi energi kepada Nining untuk berjalan sampai ke sekolahnya yang cukup jauh jaraknya itu. Kalau tidak salah, jaraknya sekitar 7 km.

Nining menapaki pematang sawah dengan langkah-langkah kaki kurusnya. Hari masih cukup pagi dan udara pagi ini cukup dingin. Kelak, udara sedingin ini bisa terasa panas karena peluh yang mulai keluar membasahi baju seragam Nining satu-satunya itu. Paling tidak, setengah jam perjalanan ditempuh Nining dengan berjalan kaki hingga tiba di sekolahnya. Biasanya kaki Nining mulai menapakkan di gerbang sekolah bertepatan dengan bunyi bel yang berdentang. Tak ada jeda waktu bagi Nining beristirahat barang sejenak menata nafasnya. Gurunya sudah bersiap menuju kelasnya jam tujuh tepat.

“Selamat, pagi bu Guruuu…..,” serentak Nining dan teman-temannya memberi salam kepada ibu Guru. Ritual setiap pagi sebelum memulai pelajaran yang dipimpin aba-aba oleh sang ketua kelas setelah berdoa.

“Selamat pagi, Anak-anak ! Besok adalah hari penerimaan raport kalian, Ibu berpesan bagi yang belum membayar SPP harap segera dilunasi. Sampaikan kepada orang tua kalian !”

Glek. Nining menelan ludah. Sudah dua bulan ini Bapak Nining belum bisa membayar SPP-nya. Kemarin adalah giliran kakaknya yang harus bayar SPP dahulu karena tidak bisa ikut ujian jika belum membayar SPP. Sedangkan di sekolah Nining, siswa boleh ikut ujian sekalipun belum membayar SPP, tapi harus segera dilunasi jika akan penerimaan raport. Nining harap-harap cemas jika ibu Guru menyebut namanya di depan kelas sebagai anak yang belum membayar SPP. Nining bersiap untuk menutup rasa malunya di depan teman-temannya jika itu terjadi. Tapi ternyata, ibu guru hanya menatapnya sekilas dan tidak berkata apa-apa lagi. Cukup sudah. Hff..Nining bernafas lega.

Sampai di gubug, Nining bingung kata apa yang akan disampaikan kepada ayahnya perihal tunggakan SPP-nya. Nining sangat mengerti kondisi keluarganya, dan tidak ingin menambah beban berat orang tuanya sekalipun itu adalah suatu kewajiban. Jangka waktu satu hari jelas tidak mungkin bagi Bapaknya mendapatkan uang sejumlah 2 bulan SPP-nya. Untuk makan sehari-hari saja kesulitan, apalagi untuk yang lain-lain. Nining hanya bisa berharap, semoga akan ada suatu keajaiban yang terjadi

Pagi harinya, Nining pergi ke sekolah berboncengan sepeda dengan Bapak, memenuhi undangan orang tua yang harus hadir saat penerimaan raport. Bapak sudah tahu jika Nining menunggak SPP 2 bulan, oleh karena itu Bapak akan berbicara dengan guru di sekolah Nining untuk minta kelonggaran waktu dalam membayar. Bapak Nining tidak meminta keringanan, tapi hanya minta waktu yang cukup supaya bisa mencari uang untuk membayar SPP Nining.

Para orang tua murid sudah banyak yang berkumpul di aula sekolah. Hari ini adalah penerimaan raport kenaikan kelas yang artinya Nining akan naik ke kelas lima jika tidak tinggal kelas. Selain acara pembagian raport, akan diumumkan pula siapa-siapa yang menjadi juara kelas di kelasnya masing-masing. Para orang tua menjadi saksi keberhasilan putra-putrinya dalam belajar.

Ternyata, Nining menduduki ranking kedua di kelasnya dan sudah tentu naik ke kelas lima. Bapak sangat bangga akan prestasi Nining, namun menjadi sebuah ironi ketika buku raport yang membanggakan itu hanya boleh dilihat oleh Bapak dan Nining di sekolah saja, tidak boleh dibawa pulang sebelum membayar tunggakan SPP. Nining cukup sedih, tapi apa daya, Nining tidak ingin membuat Bapaknya lebih sedih lagi. Cepat-cepat dihapusnya air mata yang hampir berlinangan di pipi jangan sampai sempat terlihat oleh Bapaknya.


Setidaknya, Nining cukup bersyukur tinggal di tengah sawah yang jauh dari para tetangga itu. Hanya keluarga Nining sendiri yang tinggal di tengah sawah ini. Mereka hanya bertegur sapa dengan para petani yang menggarap sawah dari pagi hingga sore hari. Selebihnya, tak ada orang lain yang bisa disebut sebagai tetangga. Kalaupun Nining ingin bermain, bermain sendiri dengan alam saja. Teman-teman sekolahnya sangatlah jauh rumahnya yang dekat dengan sekolahan sana. Tapi ketiadaan tetangga ini sedikit menguntungkan Nining saat kenaikan sekolah begini.


Tidak ada yang bertanya dan ingin melihat raportnya seperti saat Nining tinggal di kampung dulu. Nining tidak tahu harus memberi jawaban yang masuk akal apa jika itu terjadi. Mungkin jika terpaksa, Nining harus berkata jujur apa adanya. Nining naik kelas, ranking kedua, tapi raportnya ditahan di sekolah karena belum bayar SPP. Adakah yang percaya dengan jawaban seperti itu ? Mungkin hanya cemoohan yang diterima, mengira Nining telah berbohong karena tidak bisa menunjukkan bukti. Pasti para tetangga itu mengira Nining nilainya jelek dan malu memperlihatkan raportnya. Ah, manusia..bicara jujur saja masih dianggap bohong

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...