Cantik. Satu kata ini benar-benar mujarab membuat Judith tersenyum sepanjang hari ini. Bagaimana tidak, hampir semua teman Judith di facebook mengungkapkan bahwa dirinya cantik. Teman-teman yang kebanyakan dari jaman sekolah dan kuliah dulu, seakan tidak percaya dengan keadaan Judith sekarang. Banyak diantaranya yang pangling bahkan tidak mengenali Judith lagi.
“Aduh, Judith beda sekaliiiii….diapakan mukanya ?,” kata Dian.
“Judithhhhh…kamu beda sekali sekarang ? Ayuuuuuu….,” kata Windy.
“Hah, ini Judith ???…Nggak mungkin…pangling banget..hampir nggak recognize lagi, beneran ini Judith ????,” kata Fanie.
“Kok fotomu beda sama jaman SMA dulu ?,” kata Dedy.
Dan masih banyak komentar serupa yang intinya menyatakan ketidakpercayaannya bahwa Judith sudah menjadi cantik sekarang. Apalagi, banyak teman pria dari masa lalunya yang mengajak kenalan mengira Judith adalah teman baru. Astaga…begitu besarkah perubahan yang terjadi pada dirinya ? Gila,..Judith tidak menyangka respon yang diterimanya akan seheboh ini. Sampai-sampai Judith harus mengernyitkan kening menyadari teman-temannya yang dulu cukup dikenal dengan baik, sekarang sudah tidak mengenalinya lagi.
Akibatnya, kesibukan Judith bertambah untuk membalas pesan-pesan yang masuk di daftar inbox-nya. Belum lagi harus confirm friend request yang jumlahnya puluhan setiap harinya. CK..ck..ck…hampir menyamai seorang artis yang lagi naik daun ! Tiba-tiba saja banyak sekali orang-orang baru yang belum dikenal Judith add friend. Luar biasa, ngetop tanpa audisi, hanya berbekal foto yang eksklusif!
Judith menikmati kegiatan barunya ini. Tak disangka, kehadirannya di facebook memberikan warna tersendiri bagi orang lain. Dan ini menjadi hiburan bagi Judith. Menyenangkan, walaupun ada sedikit kekecewaan ketika dirinya dikenal sebagai sosok Judith yang lain. Bukan yang dulu lagi.
Tiba-tiba ingatan Judith melayang pada masa lalunya. Seorang gadis kecil yang lusuh, dengan rambut yang tipis berwarna kemerahan karena terlalu sering terjemur sinar matahari, berjalan tanpa alas kaki diatas jalanan beraspal panas, yang di kanan kirinya terhampar kebun tebu. Seringkali kakinya berjinjit untuk mengurangi rasa panas di kakinya. Tangannya menjinjing sepasang sandal jepit yang putus. Sengaja sandal itu dibawanya karena akan diperbaiki oleh ayahnya di rumah nanti.
Siang yang terik telah mengantarkan gadis kecil itu ke sebuah rumah kecil dari bambu di tengah sawah. Tempat tinggalnya. Ayahnya sedang mencangkul hendak menanam pohon singkong.
”Ayah, sandalnya putus lagi…”. Ayahnya menghentikan kegiatan mencangkulnya, kemudian memperhatikan puterinya dan sandalnya.
“Ya, nanti ayah perbaiki. Taruh di situ dulu..” Gadis kecil itu menurut. Bergegas dia masuk ke dalam rumah yang lebih tepat disebut gubug. Tak berapa lama dia telah terhanyut dalam kegiatan rumah tangga yang menumpuk. Mencuci pakaian, menyapu, bersih-bersih, mencuci piring dan kegiatan fisik lainnya yang seakan tak pernah henti untuk dikerjakan.
Ibunya tak terlihat siang itu, karena sudah dua hari bekerja sebagai tukang cuci di rumah seorang kaya yang punya kost-kostan. Semua pekerjaan dijalani demi menyambung hidup. Harus bekerja keras menjalani kehidupan yang keras. Sudah semestinya jika Judith yang mengganti tugas ibunya sehari-hari di rumah. Pagi hari Judith pergi ke sekolah, sepulang sekolah hampir tak ada lagi waktu untuk bermain, selalu dihabiskan untuk bekerja membantu ibunya. Jika sore menjelang, kegiatannya mengisi lampu teplok dengan minyak tanah. Tak ada listrik di tempat tinggalnya. Tak jarang tangannya terkena tumpahan minyak tanah dan berbau. Di malam hari, seringkali Judith terkantuk-kantuk belajar ditemani lampu teplok yang remang-remang.
Hhh..Judith mendesah dalam lamunannya. Air matanya hampir saja tumpah jika dia tak segera menyekanya. Masa kecil yang sangat sulit. Tapi untunglah tidak membuatnya putus asa dan berkecil hati untuk mencapai kehidupan yang lebih baik seperti sekarang. Life must go on, apapun yang terjadi. Dan Judith bangga dengan didikan kedua orang tuanya yang walaupun tidak bisa memanjakan dengan limpahan materi, tapi selalu berpikiran positif dan selalu penuh harap untuk maju dan berkembang. Hidup adalah perjuangan. No pain no gain.
Judith kecil adalah seorang gadis yang pendiam. Lebih tepatnya pemalu. Bahkan cenderung ke arah minder atau rendah diri. Setiap kali ada teman kakak laki-lakinya yang bermain ke rumahnya, Judith lebih betah mengurung diri di dalam kamar dan menguping diam-diam apa yang sedang mereka perbincangkan. Entahlah, Judith merasa lebih aman bersikap demikian daripada dia harus menampakkan batang hidungnya di depan semua laki-laki teman kakak-kakaknya. Kakak Judith ada empat orang, laki-laki semua dan Judith adalah bungsu di keluarganya sekaligus anak perempuan satu-satunya. Bisa dibayangkan, jika ada teman laki-laki kakaknya selama beberapa jam di rumahnya, selama itu pulalah Judith bersembunyi. Sebenarnya Judith ingin bisa bergaul dengan mereka, tapi perasaan takut diabaikan lebih kuat menguasai dirinya. Judith merasa dirinya adalah seorang gadis yang jelek, miskin dan tidak punya kelebihan apa-apa. She is just nothing. Poor of Judith.
Keadaan itu berbanding terbalik dengan kehidupan Judith di sekolah. Hampir semua murid mengenal Judith karena hampir setiap penerimaan raport, nama Judith selalu tertera sebagai tiga besar di kelasnya bahkan menjadi Juara Umum di sekolah pun pernah diraihnya saat duduk di bangku SMP. Semua orang mengenalnya sebagai sosok yang sangat sederhana dan tidak pernah neko-neko. Di kalangan guru-guru sekolahnya, Judith termasuk murid yang disayang karena kepandaiannya. Tak mengherankan jika setiap ada lomba mata pelajaran antar sekolah, Judith selalu dipercaya untuk mengharumkan nama sekolahnya.
Dan yang lebih mencengangkan, Sang Kepala Sekolah, saat berpidato di depan murid-muridnya dalam upacara bendera, pernah mengatakan bahwa Judith adalah murid yang patut dicontoh, karena dalam keterbatasan, belajar hanya ditemani lampu teplok, Judith mampu menunjukkan prestasinya di sekolah. Judith hanya tertunduk malu mendengar pidato Kepala Sekolahnya. Tidak menyangka akan mendapat pujian seperti itu. Selama ini Judith merasa dirinya bukan apa-apa. Bagaimana mungkin jika dirinya ternyata bisa menjadi inspirasi buat orang lain ? Terlalu berlebihankah ?
Judith menepis bayangannya, mencoba kembali tenggelam dalam situs gaulnya di internet, facebook. Ada satu nama pria yang cukup membuatnya penasaran. Beberapa hari ini pria itu rajin sekali mengirim pesan kepada Judith. Awalnya salam kenal, kemudian ucapan salam entah selamat pagi, siang, malam, tak henti-hentinya. Atau hanya sekedar menanyakan lagi apa, sudah makan atau belum dan bentuk perhatian lainnya. Pada awalnya Judith senang-senang saja diperhatikan seperti itu, tapi lama kelamaan Judith cukup terusik dengan perhatiannya yang terlalu berlebihan. Sepertinya pria itu belum menyadari sepenuhnya siapa Judith sebenarnya. Tapi Judith tahu, pria ini adalah seseorang yang pernah mengisi lembaran buku hariannya dulu. Semasa Judith belum seperti sekarang.
Judith memandang wajahnya di cermin, mencoba mengamati beberapa perubahan yang terjadi. Semuanya sama, masih sama seperti dulu, tapi kenapa banyak orang tak mengenalinya lagi ? Hidungnya, matanya, bibirnya, semuanya masih asli, tak ada yang dioperasi. Mungkin rambutnya yang sudah berganti menjadi potongan rambut terkini dan tersentuh cat rambut dari merk terkenal. Atau alisnya yang sekarang sudah tersentuh oleh pensil alis. Matanya yang sudah terpulas eye shadow. Pipinya yang merona oleh blush on. Bibirnya yang terwarnai lipstick. Kulitnya yang tampak terawat.
Hanya itu. Tak ada perubahan yang lain. Tapi cukup sukses membuat orang-orang di masa lalunya tak percaya bahwa dia adalah Judith yang dulu, seorang gadis kecil yang kumal, yang rambutnya selalu kusut, yang harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang dicita-citakannya.
Judith kecil yang telah kenyang oleh hinaan dan cemoohan hanya karena orang tuanya tidak mampu. Seorang Judith kecil yang hanya bisa berdiri di sudut sekolah ketika teman-temannya berlarian jajan di kantin sekolah. Judith yang tak mampu menjawab ketika ditanya temannya,” Uang sakumu berapa ?.” Bisa makan dua kali dalam sehari saja, sudah untung.
Pengalaman Judith yang tak pernah bisa selalu meminta uang kepada orang tuanya, membuat Judith bertekad untuk mencari uang sendiri. Apapun dijalaninya untuk mendapat uang termasuk uang untuk biaya sekolah. Judith malu setiap kali harus nunggak SPP hingga beberapa bulan. Sampai-sampai pernah raport Judith ditahan, tidak boleh dibawa pulang, hanya boleh dilihat di sekolah. Hanya karena belum bisa membayar SPP. Padahal saat itu Judith mendapatkan ranking satu. Betapa perihnya hati Judith saat itu.
Syukurlah, karena prestasinya yang bagus di sekolah, Judith selalu mendapatkan beasiswa hingga bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Selain itu Judith mencoba peruntungannya berjualan kartu nama, berjualan bunga saat ada wisuda, dan menjalankan bisnis parcel saat hari raya bersama dengan teman-temannya. Semua dijalani Judith dengan penuh semangat. Uang yang diperolehnya ditabung, bahkan bisa memberi kepada orang tuanya. Betapa bangganya Judith bisa membahagiakan orang tua dan mengangkat derajadnya.
Selepas menjadi Sarjana, Judith mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan besar dengan posisi yang cukup diincar banyak orang. Lambat laun rasa rendah dirinya telah menjelma menjadi rasa percaya diri yang hebat. Bahkan Judith menjadi sosok yang humoris, ceria dan lebih bijak dalam menyikapi kehidupan ini. Sehingga kesuksesan demi kesuksesan berhasil diraih Judith dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Pengalaman hidup mengajarinya tentang banyak hal. Adalah pilihan Judith untuk menjadi yang terbaik untuk dirinya sendiri dan orang lain. Uang bukan lagi menjadi masalah. Judith bisa membeli apa saja sekarang. Bahkan mampu merombak habis penampilannya.
Proses metamorfosis baru saja dialami Judith. Dari kepompong menjadi kupu-kupu. Pria model manapun tak akan kuasa menolak Judith . Sekarang begitu banyak pria berebutan mencari perhatiannya. Sedangkan dulu, satu pria pun sangat sulit didapatkan. Judith mensyukuri semuanya sekaligus takjub atas perubahan yang dialaminya..
Namun apakah ini yang dicari Judith selama ini ? Berapa kali Judith harus meyakinkan kepada teman-temannya dulu bahwa dirinya adalah benar-benar Judith ? Berapa banyak tanggapan tidak percaya bahkan anggapan bahwa Judith hanya mengada-ada ?
Atau haruskah Judith berterus terang kepada pria yang selama ini gencar memburunya bahwa dirinya adalah Judith kecil yang saat itu sangat mengagumi dirinya, tapi dia tak menganggapnya sama sekali ? Pria tampan bernama Bagus Wicaksono yang beberapa tahun lalu selalu menghiasi mimpi-mimpi Judith ? Bagus yang tak lain adalah teman kakaknya yang sering main ke gubugnya dulu, tapi Judith hanya mampu mengintip dari bilik bambu dengan hati berdebar-debar, dan menguping pembicaraannya dengan kakaknya?
Judith menghela nafas panjang. Sekarang semuanya begitu mudah untuk didapatkan, tapi kenapa Judith tidak bisa memutuskannya ? Judith menggeleng, tak tahu harus berbuat apa. Judith merasa dirinya telah menjadi orang lain, bahkan dirinya sendiripun tidak mengenalnya lagi. Dan Judith tidak bisa menjawab apakah dia bahagia atau tidak dengan perubahan ini, sekalipun pria yang pernah dikaguminya telah menawarkan hatinya. Judith hanya takut dan ragu-ragu, semuanya akan hilang jika dia berlaku jujur akan masa lalunya kepada pria bernama Bagus itu…
ok banget tulisanya
ReplyDeleteHm..bikin terharu..hiks..hiks..
ReplyDeleteMakasih semuanya..masih belajar nulis, kok..hehe..
ReplyDelete