Minggu yang mendung. Mungkin semendung hatiku saat ini. Sisa-sisa isakku semalam masih membekas diantara suara sengauku. Gundah gulana memporak-porandakan perasaanku. Kebingungan masih menderaku. Tak tahu arah tujuan. Ya Tuhan, inikah cobaan yang harus aku hadapi ? Mampukah aku melewati semua ini, atau bolehkah aku berbelok arah untuk menghindari semuanya ini ?
Semalam, sepanjang perjalananku menuju kota Udang, air mataku terus berderai menganak sungai. Isakku tertahan mencoba untuk menghindari tatapan heran dari para penumpang travel yang aku tumpangi. Aku tak ingin ada pertanyaan ‘kenapa atau ada apa’ dari mereka. Karena aku sendiri tak yakin bisa menjawab semua pertanyaan itu. Aku hanya ingin sedikit melepaskan bebanku dengan tangis. Hal yang selama ini jarang aku lakukan. Apalagi kulakukan di tempat umum seperti tadi malam.
Perpisahan, penyebab dari kesedihanku adalah perpisahanku dengan Bagas, anakku yang sangat aku cintai. Sebenarnya aku tak sanggup untuk melakukan perpisahan ini. Tapi keadaanlah yang memaksaku untuk melakukan semuanya . Kuputuskan untuk menitipkan Bagas di kota Gudeg dengan Eyang Kakung dan Eyang Putri-nya, yang adalah Bapak dan Ibu mertuaku.
Sebuah keputusan besar, mengingat selama ini aku selalu berada di samping Bagas, dari mulai melahirkan sampai hampir genap dua tahun usianya. Aku teringat saat-saat menyusuinya, melihat perkembangannya dari hari kehari yang semakin menggemaskan dan membahagiakan. Melihat Bagas mulai merangkak, memanggil ‘mama’ untuk pertama kalinya, belajar berjalan, berlari, sampai belajar ngomong dan menyanyi walaupun belum begitu jelas. Aku tak pernah ketinggalan semua momen penting itu. Aku selalu menjadi orang pertama yang mengetahuinya. Aku tahu betul apa saja kesukaan Bagas. Dan aku telah hafal apa yang bisa membuatnya menangis dan tertawa.
Tapi sekarang ? Aku didera kesepian tanpa kehadiran Bagas. Tak ada yang menyambutku saat aku pulang kerja, yang tertawa gembira saat aku membawakannya oleh-oleh. Perjalanan waktu mampu melewatkan momen-momen indahku bersamanya. Aku bukan lagi orang pertama yang bisa melihat Bagas melompat-lompat, atau saat Bagas berceloteh lucu yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Aku ini ibunya, tapi kenapa aku rela Bagas bertumbuh dengan eyangnya ?
“Jadi Ibu mau ke Kalimantan ?,” tanyaku minggu lalu pada Ibuku yang selama ini mengasuh Bagas.
Sebenarnya kasihan juga ibuku yang sudah beranjak senja masih harus mengasuh Bagas cucunya. Tapi dengan pertimbangan bahwa Bapakku sudah tiada dan supaya Ibu bisa dekat denganku dan cucunya, maka Ibu bersedia tinggal di rumahku, dengan suamiku pula. Ibu sangat rajin, pagi-pagi sudah bangun, memasak, dan gemar menanam tanaman hias. Hampir semua tanaman yang dipegang oleh tangan dingin Ibu selalu tumbuh subur. Pekaranganku jadi semarak dengan beraneka bunga, anggrek dan kaktus. Seringkali Bagas ikut-ikutan menanam dan menyiram tanaman Ibu. Lucu sekali. Bagas sangat dekat dengan Ibu.
Aku tidak mempunyai pembantu dan tidak berniat mengambil seorang pembantu. Selama ini aku bisa mengerjakan segala pekerjaan tanpa bantuan seorang pembantu. Bahkan jika aku tidak bekerja, ingin sepenuhnya kuabdikan diriku untuk mengasuh anakku sendiri. Di sisi lain, aku belum bisa sepenuhnya percaya kepada seorang pembantu dan dari segi finansial, gajiku dan gaji suamiku yang pas-pasan belum mampu untuk membayar gaji seorang pembantu. Masih banyak kebutuhan hidup yang harus dipenuhi termasuk kebutuhan Bagas yang tidak sedikit.
Maka ketika kakakku mengutarakan niatnya untuk mengajak Ibu turut serta ke Kalimantan, hatiku sontak terkejut. Kekhawatiranku hanya satu : Bagas bagaimana ? Sedangkan aku tidak punya hak untuk melarang Ibu. Tidak sepatutnya aku memasung kebebasan Ibu. Ibu masih punya anak-anak lain yang ingin dikunjunginya, masih punya cucu-cucu lain yang harus ditengoknya. Sangat egois sekali jika aku hanya memikirkan keluargaku sendiri. Apalagi Mas Pinur kakakku mengatakan bahwa dia ingin menyenangkan Ibu. Akan diajaknya Ibu berkeliling kota Samarinda dengan mobil barunya. Kapan lagi Ibu bisa merasakan kebahagiaan dengan anak-anaknya yang lain selain diriku ?
Ingin rasanya aku keluar kerja dan mengasuh Bagas sendiri. Tapi apa daya, jika hanya mengandalkan gaji suamiku saja, akan sangat kewalahan memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal. Benar-benar sebuah pilihan yang sulit. Aku tidak bisa dipisahkan dari Bagas, tapi di sisi lain aku harus bisa memenuhi semua kebutuhan Bagas. Semua adalah tanggung jawabku dan suamiku sebagai orang tuanya. Bekerja keras menjadi pilihan dan berkorban menjadi jalan keluar terbaik untuk semuanya.
Akhirnya aku mengantarkan Bagas ke rumah Eyangnya dengan perasaan yang galau. Berkali-kali aku menyalahkan diriku dengan sebutan Ibu macam apa aku ini ? Menitipkan anak untuk diasuh Eyangnya ? Kenapa aku hanya bisa membebani orang lain ? Berbagai pertanyaan berkecamuk. Bagaimana jika nanti Bagas sakit ? Bagaimana jika Bagas mencari ibunya ? Bagaimana jika Bagas ingin dinyanyikan lagu kesukaannya ? Sanggupkah Eyangnya mengasuh Bagas yang sangat aktif itu ?
Mungkin memang aku harus mengorbankan perasaanku. Walau sebenarnya aku cukup terhibur dengan sambutan mertuaku yang sangat senang menerima kehadiran Bagas. Bahkan mereka yang menyarankan agar Bagas tinggal bersama mereka. Bagas menjadi hiburan tersendiri buat mereka. Ini adalah waktu yang tepat bagiku untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka. Memberikan kebahagiaan dengan merelakan Bagas beranjak dari sisiku. Sungguh tidak gampang. Tak terbayangkan sebelumnya.
************
Hari ini genap dua minggu Bagas ada di Yogya bersama Eyangnya. Rasa rinduku tak terbendung lagi. Kemarin telah kuajukan cuti dua hari khusus untuk menengok Bagas. Telah kupersiapkan segalanya untuk perjalananku kali ini. Tak lupa kubawakan mainan kesenangan Bagas dan makanan favoritnya.
Kubayangkan Bagas berada dalam pelukanku dan tawanya yang berderai menyambut kedatanganku. Semuanya begitu indah untuk kubayangkan. Bagas, Mama datang, Nak..nanti kita bermain bersama, pergi ke taman, berjemur matahari pagi di lapangan, berlari-lari bersama dalam keceriaan, melihat kereta api yang lewat dekat rumah Eyang, melihat pesawat terbang. Ahhh..aku sudah tak sabar lagi.
Perjalanan hampir delapan jam dari kota Udang ke kota Gudeg terasa berjalan lambat sekali. Tak dapat kuhindari rasa pegal yang menjalar di tubuhku. Aku hampir tak bisa tidur membayangkan pertemuanku dengan Bagas sebentar lagi. Seperti apa ya Bagas sekarang. Tambah gemuk atau kurus, tambah pintar apa. Selama ini jika kutelepon, Bagas belum bisa diajak komunikasi. Hanya sepatah-patah suaranya, belum bisa bercerita yang banyak. Padahal ingin sekali aku mendengar celotehannya yang panjang.
Tepat pukul tiga dini hari, travel yang kutumpangi telah sampai di rumah mertuaku. Bagas tertidur lelap saat aku datang. Dahinya kemerah-merahan terkena biang keringat. Maklum, udara Yogya sangat panas. Rasa kangenku membuncah. Setelah berbasa-basi dengan mertuaku, aku tidur menemani Bagas. Kuciumi anakku penuh kerinduan. Kupeluk dengan penuh kasih sayang. Air mataku tumpah. Aku kasihan dengan Bagas. Sementara waktu harus kehilangan kasih sayang orang tuanya.
Beberapa menit aku tertidur, Bagas terjaga dan membuatku terbangun. Begitu gembiranya aku melihatnya, tapi Bagas tampak kaget melihatku dan sambil menangis berteriak-teriak memanggil, ” Uti…Uti..Uti…,” sambil meronta-ronta dalam pelukanku.
Ya Tuhan…aku sangat kebingungan. Ada apa dengan Bagas ? Lupakah dia dengan mamanya ? Waktu dua minggu sanggup membuatnya lupa terhadap aku yang telah melahirkannya ?
Teriakan dan tangisan Bagas membuat Bapak dan Ibu mertuaku terbangun. Serta merta Bagas digendong Eyang Kakungnya. Aku hanya bisa menatap dengan hati yang pedih. Bagas.. Mama kangen sekali. Kenapa Bagas bisa menolak Mama ? Siang malam Mama selalu teringat Bagas, tapi kenapa cepat sekali Bagas melupakan Mama ? Aku terisak. Ibu Mertua menghiburku.
“Bagas hanya kaget, Nduk..masih ngantuk, jam segini biasanya dia minum susu. Coba kamu bikinkan susu dulu, biar dia tenang. Kemarin Bagas sakit panas.”
Deg. Jantungku serasa berhenti. Bagas sakit panas ? Kenapa aku tidak diberitahu ? Selama ini jika aku bertanya apakah Bagas sakit, selalu dijawab baik-baik saja.
“Ibu tidak ingin kamu jadi pikiran, Nduk..sekarang sudah sembuh kok,..sudah diobati Dion..,” Ibu mertuaku menyebut adik iparku yang menjadi dokter.
Okelah, sekarang sudah sembuh, tapi bagaimanapun aku berhak tahu bagaimana keadaan Bagas. Aku ibunya.
“Lain kali, kalau ada apa-apa sama Bagas, Ibu bilang saja ya,,saya juga harus tahu,” kataku pada Ibu mertuaku yang dijawab dengan anggukan kepala.
Selesai membuat susu untuk Bagas, kuulurkan tanganku untuk mengambil Bagas dari gendongan Eyang kakungnya. Bagas mau aku gendong. Mungkin sudah ingat sekarang. Kupeluk erat-erat Bagas dan aku tak ingin melepaskannya lagi. Maafkan, Mama, Nak… Mulai hari ini Mama janji untuk menjaga Bagas. Mama tidak ingin berpisah lagi dari Bagas. Kita akan bersama-sama lagi dengan Papa. Hidup seadanya ya, Nak..asal kita bisa bahagia berkumpul bersama lagi. Nanti kita pikirkan bersama bagaimana cara mencari uang yang banyak. Yang penting sekarang, aku bahagia melihat Bagas melompat-lompat di atas kasur sambil tertawa riang. Ini caranya menyambut kedatanganku.
*************
No comments:
Post a Comment