Dulu, saat masih berseragam putih merah, dimana kepolosan masih terpancar, dengan bangga kita bisa menyuarakan kepada dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar.
Tanahnya subur, makmur, aman dan sentausa. Terdiri dari beribu-ribu pulau, lautan dan udara yang luas.
Kita dibuat terkagum-kagum dengan sejarah Indonesia yang mampu melawan penjajahan Inggris, Belanda dan Jepang hanya dengan bambu runcing.
Bayangkan ! Kekuatan senjata dan pasukan militer yang kuat bisa kalah hanya dengan kekuatan sebuah bambu yang ujungnya dibuat runcing.
Bagaimana bisa itu terjadi jika tidak ada kekuatan luar biasa yang bisa menggerakkan semua itu ? Jawabannya hanya satu. Persatuan dan kesatuan ! Nilai yang terkandung dari sila ketiga Pancasila.
Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan nilai-nilai luhur warisan para pejuang dan pahlawan bangsa begitu familiar didalam benak kita saat duduk di bangku SD dulu.
Bapak Ibu guru semangat mengajar tentang Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang menjadi indikator naik kelas atau tidaknya kita jika nilainya di bawah enam.
Jiwa patriotisme dan semangat nasionalisme mengakar di kalbu ketika belajar tentang sejarah nasional bangsa kita. Semuanya begitu indah, nyaman dan tenang menjalani kehidupan.
Semua menatap masa depan dengan penuh harapan yang lebih baik, bahkan lebih baik dari masa kecil yang akrab dengan kemakmuran.
Tapi apa yang terjadi ? Ketika masa depan itu sudah menjadi kenyataan, persatuan dan kesatuan yang dulu telah tertanam entah menguap kemana.
Dimana-mana mudah terjadi perpecahan bahkan hanya karena masalah yang sangat sepele. Emosi mudah tersulut oleh provokasi, masalah kecil dibuat besar, bahkan yang seharusnya tidak jadi masalah bisa tercipta masalah.
Ada apa dengan pola pikir bangsa kita sekarang ?
Dimana jiwa nasionalisme yang dulu kita gembor-gemborkan saat ingus masih lekat di hidung kita ?
Mana semangat membela bangsa yang dulu kita koar- koarkan ? Kenapa kita lebih senang mencari aman untuk diri sendiri ?
Kenapa kita lebih mudah menyalahkan orang lain daripada introspeksi diri ?
Kenapa alam Indonesia yang dulu menjadi kebanggaan kita karena hutannya yang lebat, yang mampu menyimpan air tanah untuk mencegah erosi, yang sungainya jernih mengalir, yang gunungnya sejuk, yang lautnya menjadi sumber daya alam melimpah, yang tanahnya subur dan kaya akan bahan tambang, kita biarkan marah dan merana sekarang ?
Kenapa dengan tanpa berdosa kita tebang hutan dan kita jadikan kawasan vila elit ?
Kenapa sungai yang menjadi hunian paling nyaman ikan dan kawan-kawannya menjadi pusat pembuangan sampah dan limbah ?
Dan kita, yang mengaku sebagai pemimpin, kenapa kita lebih senang dilayani daripada melayani, kenapa dengan mudahnya kita gunakan uang rakyat untuk memuaskan nafsu hedonisme duniawi sendiri semata, kenapa tidak kita pikirkan bagaimana nasib rakyat kecil yang telah kita peras uangnya di luar sana ?
Kenapa tidak kita pikirkan bagaimana membuat bangsa ini lebih bermoral daripada pandai berkata-kata saja ?
Kenapa tidak kita benahi sumber daya manusia bangsa kita menjadi manusia yang lebih berbudi ?
Kenapa tidak mulai pikirkan untuk mencegah panasnya bumi yang mulai menua ?
Kenapa tidak kita singsingkan baju dan lengan kita untuk mulai ramah terhadap alam yang telah memberi kita segala yang kita inginkan ?
Kenapa kita tidak takut kepada Tuhan sang pencipta kita ?
Kenapa kita selalu lupa bersyukur akan karunia-Nya ?
Yang tidak pernah meminta bayaran akan udara yang telah kita hirup untuk bernafas, yang tidak pernah menagih atas kesehatan yang telah kita nikmati, yang tidak pernah berusaha mengambil kebahagiaan yang kita rasakan, yang tidak pernah meminta sewa atas panca indra dan tubuh yang kita pergunakan setiap hari ?
Apa balasan kita ?
Menghujatnya atas derita yang kita rasakan karena perbuatan kita sendiri, menganggapnya tidak adil atas bencana yang kita ciptakan sendiri, melupakannya saat setan menjadi kawan atas nikmatnya dunia yang fana. Ah..begitu cepat dosa itu terbuang..
Jadi ingat beberapa peribahasa yang menggambarkan keadaan kita sebagai bangsa Indonesia saat ini :
Kita pandai mencari-cari sehingga “kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak” kesalahan orang lain yang kecil tampak jelas di mata kita, tapi kesalahan kita yang paling besar tidak pernah kita sadari
Kita pandai berbicara, tapi tidak bermakna seperti “tong kosong yang berbunyi nyaring”
Seringkali omongan kita tidak bermutu seperti “air beriak tanda tak dalam”
Kebaikan dibalas dengan kejahatan “air susu dibalas dengan air tuba”
Banyak keinginan serba instant, sehingga tidak mengenal “ berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”, tidak mau bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang kemudian
Kecenderungan untuk selalu dihormati dimanapun berada, tidak mengenal “ dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”
Banyak keinginan, tapi tidak mau berproses seperti “ sekali merengkuh dayung, dua – tiga pulau terlampaui”
“Sambil menyelam minum air”, kalau tidak kembung ya kelelep..
Tulisan ini hanya sebagai renungan kita, yang masih mengaku sebagai bangsa Indonesia, yang ingin perbaikan, yang merindukan ketentraman seperti dahulu.
Mari bersama-sama kita benahi, saling mengingatkan untuk kebaikan kita bersama dan tinggalkan keegoisan kita untuk saling menyalahkan..
Tanahnya subur, makmur, aman dan sentausa. Terdiri dari beribu-ribu pulau, lautan dan udara yang luas.
Kita dibuat terkagum-kagum dengan sejarah Indonesia yang mampu melawan penjajahan Inggris, Belanda dan Jepang hanya dengan bambu runcing.
Bayangkan ! Kekuatan senjata dan pasukan militer yang kuat bisa kalah hanya dengan kekuatan sebuah bambu yang ujungnya dibuat runcing.
Bagaimana bisa itu terjadi jika tidak ada kekuatan luar biasa yang bisa menggerakkan semua itu ? Jawabannya hanya satu. Persatuan dan kesatuan ! Nilai yang terkandung dari sila ketiga Pancasila.
Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan nilai-nilai luhur warisan para pejuang dan pahlawan bangsa begitu familiar didalam benak kita saat duduk di bangku SD dulu.
Bapak Ibu guru semangat mengajar tentang Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang menjadi indikator naik kelas atau tidaknya kita jika nilainya di bawah enam.
Jiwa patriotisme dan semangat nasionalisme mengakar di kalbu ketika belajar tentang sejarah nasional bangsa kita. Semuanya begitu indah, nyaman dan tenang menjalani kehidupan.
Semua menatap masa depan dengan penuh harapan yang lebih baik, bahkan lebih baik dari masa kecil yang akrab dengan kemakmuran.
Tapi apa yang terjadi ? Ketika masa depan itu sudah menjadi kenyataan, persatuan dan kesatuan yang dulu telah tertanam entah menguap kemana.
Dimana-mana mudah terjadi perpecahan bahkan hanya karena masalah yang sangat sepele. Emosi mudah tersulut oleh provokasi, masalah kecil dibuat besar, bahkan yang seharusnya tidak jadi masalah bisa tercipta masalah.
Ada apa dengan pola pikir bangsa kita sekarang ?
Dimana jiwa nasionalisme yang dulu kita gembor-gemborkan saat ingus masih lekat di hidung kita ?
Mana semangat membela bangsa yang dulu kita koar- koarkan ? Kenapa kita lebih senang mencari aman untuk diri sendiri ?
Kenapa kita lebih mudah menyalahkan orang lain daripada introspeksi diri ?
Kenapa alam Indonesia yang dulu menjadi kebanggaan kita karena hutannya yang lebat, yang mampu menyimpan air tanah untuk mencegah erosi, yang sungainya jernih mengalir, yang gunungnya sejuk, yang lautnya menjadi sumber daya alam melimpah, yang tanahnya subur dan kaya akan bahan tambang, kita biarkan marah dan merana sekarang ?
Kenapa dengan tanpa berdosa kita tebang hutan dan kita jadikan kawasan vila elit ?
Kenapa sungai yang menjadi hunian paling nyaman ikan dan kawan-kawannya menjadi pusat pembuangan sampah dan limbah ?
Dan kita, yang mengaku sebagai pemimpin, kenapa kita lebih senang dilayani daripada melayani, kenapa dengan mudahnya kita gunakan uang rakyat untuk memuaskan nafsu hedonisme duniawi sendiri semata, kenapa tidak kita pikirkan bagaimana nasib rakyat kecil yang telah kita peras uangnya di luar sana ?
Kenapa tidak kita pikirkan bagaimana membuat bangsa ini lebih bermoral daripada pandai berkata-kata saja ?
Kenapa tidak kita benahi sumber daya manusia bangsa kita menjadi manusia yang lebih berbudi ?
Kenapa tidak mulai pikirkan untuk mencegah panasnya bumi yang mulai menua ?
Kenapa tidak kita singsingkan baju dan lengan kita untuk mulai ramah terhadap alam yang telah memberi kita segala yang kita inginkan ?
Kenapa kita tidak takut kepada Tuhan sang pencipta kita ?
Kenapa kita selalu lupa bersyukur akan karunia-Nya ?
Yang tidak pernah meminta bayaran akan udara yang telah kita hirup untuk bernafas, yang tidak pernah menagih atas kesehatan yang telah kita nikmati, yang tidak pernah berusaha mengambil kebahagiaan yang kita rasakan, yang tidak pernah meminta sewa atas panca indra dan tubuh yang kita pergunakan setiap hari ?
Apa balasan kita ?
Menghujatnya atas derita yang kita rasakan karena perbuatan kita sendiri, menganggapnya tidak adil atas bencana yang kita ciptakan sendiri, melupakannya saat setan menjadi kawan atas nikmatnya dunia yang fana. Ah..begitu cepat dosa itu terbuang..
Jadi ingat beberapa peribahasa yang menggambarkan keadaan kita sebagai bangsa Indonesia saat ini :
Kita pandai mencari-cari sehingga “kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak” kesalahan orang lain yang kecil tampak jelas di mata kita, tapi kesalahan kita yang paling besar tidak pernah kita sadari
Kita pandai berbicara, tapi tidak bermakna seperti “tong kosong yang berbunyi nyaring”
Seringkali omongan kita tidak bermutu seperti “air beriak tanda tak dalam”
Kebaikan dibalas dengan kejahatan “air susu dibalas dengan air tuba”
Banyak keinginan serba instant, sehingga tidak mengenal “ berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”, tidak mau bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang kemudian
Kecenderungan untuk selalu dihormati dimanapun berada, tidak mengenal “ dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”
Banyak keinginan, tapi tidak mau berproses seperti “ sekali merengkuh dayung, dua – tiga pulau terlampaui”
“Sambil menyelam minum air”, kalau tidak kembung ya kelelep..
Tulisan ini hanya sebagai renungan kita, yang masih mengaku sebagai bangsa Indonesia, yang ingin perbaikan, yang merindukan ketentraman seperti dahulu.
Mari bersama-sama kita benahi, saling mengingatkan untuk kebaikan kita bersama dan tinggalkan keegoisan kita untuk saling menyalahkan..
No comments:
Post a Comment