Pagi
baru saja menjelang, ditandai dengan bunyi kokok ayam pertama memecah
kesunyian. Dinginnya tak terkira hingga menusuk ke sumsum tulang
seorang gelandangan yang terbaring setengah telanjang di emperan
sebuah toko. Pikirannya kalut memikirkan cara bagaimana mencari makan
hari ini sedangkan tubuhnya terasa lemah. Sakit mendera tubuhnya
beberapa hari ini, dan perutnya terasa melilit kelaparan. Tubuhnya
tak kuat melakukan perjalanan sekalipun harus dipaksa. Tak ada
seorang pun yang peduli akan keadaannya. Tak ada belas kasihan akan
keadaannya yang memprihatinkan. Hanya tatapan sinis dan jijik ke
arahnya sambil berharap si gelandangan itu pergi karena telah
mengotori pemandangan kota.
Gelandangan
itu sudah tak ingat lagi berapa kali dia terjaring oleh petugas yang
melakukan operasi kebersihan kota. Biasanya operasi itu dilakukan
saat akan ada kunjungan pejabat tinggi negara ke kota itu. Dia
bersama dengan orang-orang yang senasib dengannya akan diangkut
kemudian dibuang ke daerah lain yang entah bernama apa. Dirinya
dianggap sebagai sampah masyarakat yang tak berguna. Bahkan beberapa
kali anak-anak kecil meneriakinya orang gila. Mungkinkah dia sudah
gila di jaman yang tak kalah gila ini ?
Gelandangan
itu merasakan panas badannya semakin tinggi sedangkan tubuhnya
menggigil. Tak ada selimut yang memberinya kehangatan. Dia tertidur
bersama dengan lalat dan kecoa ataupun tikus-tikus got yang
bersliweran di sebelahnya. Badannya bau dan dia tak ingat kapan
terakhir kali mandi. Dia akan mandi jika ditemuinya sebuah sungai
sekalipun airnya berwarna kotor nanti.
“Hei..pergi
kamu..bikin kotor saja..!!”
Sebuah
tendangan mendarat ke tubuh gelandangan yang melemah. Matahari mulai
memancarkan sinar pagi, dan sang pemilik toko mengusirnya tanpa ampun
dengan sebuah tendangan yang cukup menyakitkan. Gelandangan itu
berusaha untuk bangun tapi kepalanya terasa sangat berat. Samar-samar
dilihatnya wajah sang pemilik toko yang tampak garang itu.
Selebihnya, si gelandangan tak ingat apa-apa lagi.
Surga
Dunia
Malam
bertabur bintang, saatnya melepas kepenatan dengan mencari hiburan
malam. Seorang laki-laki berperut buncit melenggang masuk ke sebuah
kafe remang-remang. Kedatangannya langsung disambut beberapa
perempuan yang berpakaian seksi dan berdandan menor. Glamour.
Menggoda. Mengundang syahwat. Para perempuan itu berharap, si bos
akan memilihnya untuk menemani malamnya dengan sejuta kenikmatan.
Terbayang di pelupuk matanya beberapa lembar rupiah yang akan
diterima dari hasil servisnya. Membahagiakan. Si bos ini termasuk
royal dan tidak pelit. Maka segala cara dan rayuan akan dilancarkan
oleh para perempuan itu. Berbahagialah bagi yang terpilih.
“Aku
akan berpesta pora malam ini..kalian semua boleh menemaniku..aku
memilih kalian semua, layani aku selayaknya raja..hahaha..”
Para
perempuan itu bersorak. Tak mengira, semua terpilih malam ini. Mereka
akan saling bekerja sama memberikan kepuasan bagi si bos berdompet
tebal. Sama rasa, sama rata untuk beberapa lembar rupiah.
Mempertaruhkan harga diri. Adakah diri mereka masih berharga ? Tak
apalah untuk makan beberapa hari tubuh-tubuh indah mereka dikaryakan.
Demi kenikmatan sesaat si bos. Tanpa ikatan, tanpa komitmen..cukuplah
uang yang berbicara. Semua membutuhkannya untuk melangsungkan hidup
yang keras ini.
Di
sebuah kamar mewah hotel bintang lima, laki-laki tambun itu
tertawa-tawa. Di sekelilingnya banyak perempuan cantik yang siap
sedia melayani nafsu syahwatnya. Uang yang didapatnya dari sebuah
lembaga yang membutuhkan tanda tangannya, akan dia gunakan malam ini
demi sebuah kesenangan. Sejenak melupakan istrinya yang sekarang
entah sibuk arisan di negara mana dengan teman-teman socialitanya.
Sejenak melupakan anak-anaknya yang tak kalah sibuk dengan dunianya
sendiri. Wajar jika dirinya pun butuh bersenang-senang. Melepas
ketegangan setelah sibuk bekerja. Uang bisa membeli segalanya, bahkan
untuk perempuan yang seratus kali lebih cantik dari istrinya yang tak
mempedulikannya lagi.
Dan
malam itu menjadi saksi atas gembiranya laki-laki tambun itu. Dirinya
merasa sebagai raja perkasa yang mampu menaklukkan seluruh perempuan
di jagad raya ini. Segala kenikmatan dia dapatkan hanya dengan
menukar beberapa rupiah saja yang mampu dia dapatkan untuk 1 kali
tanda tangannya, itupun masih banyak sisanya. Bahkan dia sudah tidak
ingat lagi berapa kali dia tanda tangan dalam sehari. Untuk
meluluskan berbagai permintaan keringanan pembayaran pajak di negeri
ini. Pundi-pundi uangnya sudah melampaui target. Tak tahu harus
digunakan untuk apalagi. Anak istrinya sudah tak kekurangan lagi, tak
ada salahnya jika dia memikirkan untuk dirinya sendiri. Tak
terkecuali hari ini. Segala kekuasaan ada di tangannya.
Surga
Si
gelandangan yang dulu adalah sampah masyarakat di dunia, tampak
begitu agung dengan pakaiannya yang gemerlap. Segala hinaan, cacian,
sumpah serapah yang ditujukan padanya dulu sirna. Dulu dia bukan
siapa-siapa, yang tak mampu berbuat apa-apa karena keterbatasannya.
Tapi dia punya hati, tak terbujuk dalam dunia dosa yang mudah
menyeretnya untuk mencuri, mengemis sekalipun dia miskin. Tidak, dulu
dia gelandangan, tapi mampu bekerja apa saja untuk menghidupi dirinya
dan anak istrinya, sekalipun kemudian mereka pergi meninggalkan
dirinya sendiri bahkan di saat sakit paru-paru mendera tubuhnya.
Sakit paru-paru karena terbiasa hidup di antara sampah yang dia
pulung untuk mendapatkan sesuatu yang bisa dijual. Lalu dia dibiarkan
tergolek sia-sia hingga kemudian mati bagai binatang tanpa ada yang
peduli. Namun Tuhan memuliakannya di surga.
Saat
gelandangan itu telanjang, tak ada yang memberinya pakaian. Saat
gelandangan itu kelaparan, tak ada yang memberinya makan. Saat
gelandangan itu terhina, tak ada yang memberinya pembelaan. Saat
gelandangan itu kehujanan ataupun kepanasan, tak ada yang memberinya
tempat berteduh. Bahkan saat gelandangan itu mati, dibiarkannya dia
mati sia-sia bagaikan binatang, bukan manusia. Ah..
Neraka
Diantara
banyak manusia yang jatuh ke dalam dosa di neraka, tampak si bos
berbadan tambun yang dulu bergelimang harta. Tampak pula di pemilik
toko yang dulu menendang si gelandangan tanpa ampun. Lalu
perempuan-perempuan yang melayani si bos, bahkan anak istrinya tampak
pula dalam dera siksa api neraka. ah..adakah mereka semua terlalu
larut dalam kenikmatan duniawi ? Adakah mereka tak pernah peduli
untuk berbagi ? Hanya memikirkan kepentingan pribadi ? Lalu,
dimanakah tempatku nanti ? Apakah aku harus menjadi seperti
gelandangan itu ?
No comments:
Post a Comment