Gambar dipinjam dari sini
Percayakah pembaca dengan judul diatas ? Provokatif sekali ya kesannya..hehe..memang iya, tapi ini nyata. Saya alami bersama teman saya. Gimana ceritanya ? Mau tahu ceritanya ? Baiklah..duduk yang manis, tangan dilipat, pasang telinga lebar-lebar eh..baca pelan tapi pasti..*apa sih.. :)
Suatu hari, di sekitar tahun 2004 ( kalo saya gak salah inget ), itu jaman saya masih indehoy eh...indekost di Magelang. Yap, ini sisi lain dari cerita saya tentang Nasib Anak Kost, boleh dibaca buat yang belum baca, biar lebih afdol gitu..*ceilleeee...
Setelah tragedi kamar kost tanpa ada colokan listrik waktu itu, saya dan teman saya sepakat untuk segera pindah ke tempat kost baru setelah cukup merasakan getirnya kost ala jaman belum ada listrik selama satu bulan. Iya, gak mau rugi kalo cepet-cepet pindah sebelum jatuh tempo berakhir. Cara hengkangnya pun cukup dramatis, malam sebelum jatuh tempo saya dan temen saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya alias packing serba kilat. Besok siangnya, masih dengan seragam kerja, dengan motor pinjaman dari teman, saya dan Arum segera mengevakuasi barang-barang saya di kost-an. Kebetulan memang barangnya tidak begitu banyak hanya beberapa tas berisi pakaian dan perlengkapannya. Tidak ada perkakas karena memang sudah ada kasur dan lemari dari fasilitas kost. Selain itu, alasan berikutnya ribet dan mau bawa tape atawa TV, mana colokannya ? Hah..tragis..Jadi kami pamitan sama ibu dan bapak kost pun dalam kondisi sudah siap sedia angkat kaki dan segala barang kami tenteng. Mereka semua kaget, kenapa kami cepat-cepat pindah, ya alasannya sudah dapat tempat kost yang lebih dekat biar hemat transport gitu. Padahal sih sebenarnya..ada alasan lain yang lebih mengukuhkan keputusan kami untuk move on yang tidak bisa diganggu gugat. Yah..biar mereka instropeksi aja lah ya..
Huft..lega banget rasanya bisa pindah dari kost lama dan pindah ke kost baru. Kost baru ini selain lebih dekat kantor, bangunannya masih baru, bersih dan luas juga kamarnya. Saya satu kamar lagi dengan Arum. Kasur sudah disediakan, tapi lemari belum ada. Sementara kami buat lemari dari karton kardus sambil menunggu gajian tiba. Hiks..kreatif apa kereatif nih..hihi..
Halamannya kost cukup luas, sepuluh mobil parkir pun cukup sepertinya, ada sekitar sepuluh kamar kost berjajar. Rumah bapak dan ibu kost ada di sebelah, satu kompleks dengan kost-kostan. O,ya..kost-kostan kami termasuk kost campur, lain dengan kost dulu yang khusus kost putri. Penghuni kost ada yang pasangan suami istri, ada yang masih membujang, ada juga yang LDR karena kerja di Magelang, keluarga ada di kota lain seperti Kebumen, Semarang, Solo dan lain-lain. Hampir tiap weekend mereka mudik untuk keluarga masing-masing. Yah, pokoknya sudah seperti saudara aja kalo pada ngumpul di kost-an. Harganya memang lebih mahal sedikit bila dibanding kost yang dulu, 90 ribu sebulan beda dengan yang dulu 75 ribu. Namun cucok lah ya, dengan tersedianya colokan listrik di kamar plus ada dapur di ujung kost yang cukup memadai untuk memasak. Bisa hemat kan..Ssssttt..ini yang pertama kali kami cek waktu masih survey dulu..maklum, trauma irama soalnya hahaha..
Penghuni kost disini, terutama yang pasangan suami istri, rata-rata memasak di dapur. Mereka masak nasi di rice cooker atau manual pake dandang kemudian nasi dipindah ke magic jar supaya anget terus (jaman itu magic com belum sebanyak sekarang), kemudian tinggal memasak sayuran dan menggoreng lauk. Karena melihat kebiasaan mereka tiap hari, lama-lama saya dan Arum ikut masak juga. Segera saya dan Arum beli kompor minyak yang kecil (waktu itu minyak tanah belum langka dan tabung gas 3 kg belum lahir), panci dan ceret untuk merebus air. Sebagian perkakas ada yang ambil dari rumah di Jogja jadi gak perlu beli. Kami memasak pagi hari, bangun tidur langsung ke tukang sayur, kemudian memasak nasi dan memasak sayuran serta menggoreng lauk. Waktu cukup longgar karena kami masuk kerja jam 8.30. Cukup santai dan tak perlu buru-buru.
Kalo diitung-itung, hemat sekali lho bisa masak. Beras paling cukup dua gelas untuk makan berdua tiga kali sehari. Bumbu-bumbu biasanya masih bisa dipakai lagi, tinggal beli sayur dan lauk. Jaman dulu sayuran dan lauk masih begitu murahnya. Ayam 5 ribu rupiah sudah dapat banyak untuk berdua, kebetulan sebelah kostan ada penjual ayam potong. Sayuran, kangkung misalnya satu ikat cuma 500 rupiah. Kalo lauknya hanya tempe atau tahu, sehari kami belanja sayur dan lauk hanya kisaran 2 ribu sampai lima ribu rupiah. Itupun masih dibagi dua, jadi rata-rata sehari hanya keluar uang seribu sampai dua ribu rupiah untuk 3 kali makan. Wow..kan ? Kecuali kalau bumbu-bumbu dan beras habis, ya belanjanya lumayan banyak. Beda jika harus jajan, makan biasa aja paling nggak lima ribu untuk sekali makan. Sehari makan 3 kali berarti minimal keluar uang lima belas ribu. Kalau masak, mau capek sedikit bisa hemat kurang lebih 7-15 kali lipatnya. Hm..lumayan, uangnya bisa untuk keperluan yang lain.
Sampai-sampai, ada teman kerja cowok, ikut sarapan di pagi hari cukup hanya membayar seribu rupiah saja untuk sekali makan. Mereka kadang nggak percaya cuma bayar seribu, sangat jauh bila harus jajan di warung. Plusnya lagi, masakan kami enak lho, gak kalah dengan masakan di warung makan. Andalannya adalah tumis atau ca kangkung. Serasa makan di resto sea food gitu rasa ca kangkungnya hahay..ngelunjak..
Nah, ada cerita menarik ketika saya dan Arum sama-sama tongpes di akhir bulan. Waktu gajian masih 3 hari lagi, tapi uang di dompet bisa sama-sama tinggal lima ribu rupiah. Ini akibat belanja-belanji yang cukup kalap di awal bulan kemarin. Beli baju, sepatu, sandal atau apalah yang sebenarnya korban dari diskon department store. Dan saat malas menyerang, jajan saja, gak masak. Alhasil pengeluaran membengkak. Uh..
Maka, saya dan Arum sepakat untuk bisa bertahan hidup selama 3 hari dengan uang lima ribu rupiah saja. Bagaimana caranya ? Mau ngutang ke temen yang lain malu, mau puasa, duh..perutnya gak kuat, takut maag kambuh. Pokoke banyak alasan. Mau jajan terus, jelas nggak akan cukup, kecuali ngebon dulu di warung makan, tapi gengsi dong. Cantik-cantik kok ngebon makan..duh..GR amat yak bilang cantik.
Maka ditetapkanlah keputusan, mau tak mau kami harus memasak dengan limit belanja sayur cukup 3 ribu sehari mengingat uang gabungan saya dan Arum hanya sepuluh ribu rupiah karena harta yang dipunya @lima ribu rupiah saja. Jangan mau makan macam-macam dulu. Lauknya paling banter ya tahu atawa tempe, syukur-syukur kalo sisa bisa buat bonus krupuk. Ok, sip. Saya segera periksa ke dapur barangkali beras atau bumbu ada yang habis, bisa gawat rencananya, terancam gatot alias gagal total.
Saya bisa bernafas lega ternyata beras dan bumbu-bumbu masih cukup untuk 3 hari ke depan. Bahan bakar minyak tanah juga masih cukup. Tinggal pelaksanaannya saja.
Jadilah, 3 hari penuh dengan prihatin dan tawa canda. Saya dan Arum berhasil melewatinya saudara-saudara. Dari 3 ribu rupiah yang ditargetkan sebagai batas maksimal belanja di tukang sayur itu kadang malah sisa lho, misalnya beli 2 iket kangkung seribu, tempe 1 bungkus seribu rupiah, krupuk 500 rupiah..tuh kan, cuma 2.500 rupiah saja. Masih sisa 500. Itu bisa buat makan 3 kali sehari dan kenyang. Yang penting selama tiga hari ini jangan ada keinginan untuk jajan, bisa bubar acaranya, kecuali kalo ada yang traktir. Hehe..itu mah namanya rejeki yang pamali kalo ditampik.
Hm..sekarang saya suka ketawa sendiri jika mengingat masa-masa indah dan ceria waktu masih kost dulu. Banyak cerita lucu yang sekarang menjadi kenangan yang tak terlupakan. Ah, masa itu..
Oke deh, sekian dulu ceritanya. Semoga bisa menghibur and bermanfaat. Lain kali disambung lagiiii...