Aku mengecap bahagia, kala usia 9 tahun ibuku berinisiatif mengundang teman-teman kecilku berkumpul bersama di rumah untuk sekedar menikmati sepiring nasi kuning masakan ibu yang lezatnya luar biasa. Ya, itu pertama kalinya ulang tahunku dirayakan. Aku meniup lilin tanpa kue, hanya sebatang lillin biasa yang digunakan sebagai penerangan saat listrik padam. Sederhana, tapi aku sungguh berkesan. Tak henti-hentinya aku melihat kembali kado-kado dari teman-teman kecilku.
Saat usiaku 12 tahun, aku berlinang air mata terharu saat teman-teman kemahku mengucapkan ulang tahun di tengah lapangan saling bernyanyi happy birthday. Kejutan itu begitu menyenangkan bagiku.
Aku menangis sedih, saat seseorang yang kuharapkan memberi ucapan ulang tahunku yang pertama kali ternyata tidak menyadari bahwa aku berulang tahun ke-16. Namun aku kembali tersadar, aku bukan siapa-siapa yang mengharapkan terlalu banyak perhatian.
Lalu, di usia 17 tahun, aku pun terpekik kegirangan saat adik-adik kelas bimbingan rohani di sekolah berbaris melingkar, antri satu persatu menyalami hari jadiku. Betapa perhatian mereka menyejukkan jiwaku.
Aku kembali bahagia , saat ada seseorang yang memberi rumput berbunga sebagai ucapan ulang tahunnya kepadaku saat usiaku 19 tahun. Sebuah lampu teplok sebagai pengganti lilin yang tiada, aku tiup dengan semangat diantara teman-teman camping rohaniku.
Usia 21 tahun, aku tersenyum bahagia karena mengenal sesorang yang istimewa di hari jadiku. Dia menjadi kado istimewa di masa depanku. Kelak, dialah yang akan mendampingi hidupku selamanya.
Kebahagiaan demi kebahagiaan kembali aku rasakan saat aku berulang tahun di tahun-tahun berikutnya. Meskipun sering tidak dirayakan, namun aku bahagia saat ada yang mengingat hari jadiku lewat sms, telepon ataupun melalui jejaring sosial seperti facebook. Namun aku pun pernah merasa begitu terasing saat-saat jauh dari orang-orang terkasih, berada di perantauan asing yang tak satupun mengetahui hari jadiku. Dan akupun merayakannya sendiri. Dalam keheningan, merenung dan berdoa di dalam kamar. Cukuplah ucapan selamat dari orang-orang yang dekat di hati mampu menepis rasa sepiku.
Lalu, aku pernah tercengang saat belahan jiwaku lupa sama sekali hari ulang tahunku. Biasanya dia pertama kali memberi ucapan selamat tepat jam 12 malam. Tak peduli aku telah tertidur. Lalu peristiwa itu terjadi, setahun yang lalu saat dalam perjalanan pulang dari luar kota. Tak sepatah ucapan pun dilontarkan. Aku terdiam sepanjang perjalanan. Dia ikut-ikutan terdiam. Sibuk bertanya-tanya, mungkin dia sengaja begitu untuk sebuah kejutan. Tapi apa ? Sampai tengah hari, belum ada tanda-tanda padahal kami selalu bersama.
Lalu aku beranikan bertanya,” Ini hari apa ?”
Dia melihat tanggal. Dia mulai tersadar.
“Oh pantesan dari tadi diam saja, aku benar-benar lupa ini hari ulang tahunmu.”
Air mataku sudah membanjir. Tumpah ruah tak karuan.
”Apakah ucapan itu masih penting bagimu ? Bukankah kamu sudah menjadi bagian dari hidupku ? Setiap hari istimewa, sayang..”
Lalu dia mengecup keningku. Aku tetap menganggap sebuah ucapan itu bentuk perhatian. Bukankah selama ini kamu tak pernah lupa ? Kenapa setelah menjadi suami kamu melupakan ritual-ritual itu ?
“Karena kita telah terbiasa. Semuanya menjadi biasa. Tak perlu anggap itu sebagai sesuatu yang istimewa. Setiap hari kita bahagia kan ? Aku bahagia kamu pernah dilahirkan sayang, karena itu aku menganggap setiap hari istimewa. Selamat ulang tahun sayang..”
Ah..bagaiamanapun, aku tetap bahagia jika dia selalu mengingat hari ulang tahunku tanpa harus diingatkan lebih dulu. Dan ternyata, di ultahku kali ini, dia tidak lupa lagi. Ehem..